Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Saya Rindu Rumah yang Sebenar-Benarnya

TADI saya sudah mendapat kepastian kapan menjalani ujian. Insya Allah, Desember ini saya akan menuntaskan kerja kerasku di kampus UI. Jelang ujian ini, pikiran saya sudah mulai memikirkan hendak ke mana langkah kaki ini bergerak. Barangkali sudah saatnya saya kembali ke rumah. Saya laksana burung yang jauh mengangkasa dan sudah rindu untuk pulang. Saya laksana elang yang mulai lelah memandang buruan hingga ke sudut-sudut hutan dan tiba-tiba saja disergap rindu untuk membagikan makanannya pada mulut elang kecil yang menciap-ciap.

Saya ingin pulang dan mencari ketenangan di rumah. Bagiku, rumah memiliki dua pengertian. Pertama, rumah yang lebih bermakna materi berupa bentuk fisik. Rumah adalah satu tempat kembali ketika tubuh lelah dan hendak dilabuhkan. Rumah adalah tempat bernaung dari segala panas, hujan dan petir. Rumah adalah tempat kita memulai dan mengakhiri hari. Ini adalah pengertian yang pertama.

Sedangkan pengertian kedua adalah rumah tempat jiwa kembali. Rumah yang tsebenar-benarnya dan idak sekadar bentuk fisik, melainkan tempat jiwa menemukan genangan bahagia. Saya rindu dengan rumah yang selalu membasahi hatiku dengan setetes embun pencerahan. Sebuah suasana ketika batinku selalu basah dengan keharuan dan kebahagiaan yang membumbung tinggi. Saya rindu dengan saat-saat kecil yang penuh makna. Saat ketika bangun pagi dan menemukan semua orang yang kita kasihi hidup di rumah yang sama. Saat ketika kita lelah dan semua semesta di sekeliling kita tiba-tiba menawarkan kesejukan untuk membasuh lelah kita.

Rasa-rasanya sudah terlalu jauh kaki ini bergerak. Saya ingin jadi manusia biasa sebagaimana orang lain. Saya ingin menciptkana semesta rumah yang selalu memberikan ketenangan itu. Saya ingin hidup bersama keluarga yang berlimpah kasih. Mereka yang selalu siap menerimaku meskipun saya sedang patah. Hidup ala pengelana seperti saat ini sudah melelahkan bagiku. Pikiranku terlalu banyak mengembara pada ranah yang tak jelas. Mulai dari memikirkan bangsa, memikirkan teori-teori sosial yang jelimet (yang hingga kini tak juga kupahami maknanya), hingga memikirkan kapan perubahan bisa mekar di negeri ini.

Mungkin saya agak melankolis hari ini. Tapi itulah pusaran pertanyaan yang terus mengiang di benakku. Barangkali sudah waktunya untuk kembali dan menata hidup.


Depok, 27 November 2008
Pukul 17.29 WIB


Dance Like Cinderella!!!


MINGGU ini saya nonton beberapa film baru yang saya beli DVD-nya di lapak-lapak dekat kampus UI. Di antaranya adalah Wanted (yang dibintangi Angelina Jolie), Kungfu Panda II (Jack Black, Angelina Jolie, Jackie Chan), Journey to The Center of Earth (Brendan Fraser), dan Another Cinderella Story (Selena Gomes). Masih ada dua film yang belum saya tonton yaitu Tropic Thunder (Ben Stiller) dan Make It Happen (Mary Elizabeth).

Saya tidak ingin mengisahkan cerita semua film tersebut. Bisa-bisa tulisan ini akan sangat panjang dan membosankan. Palingan, saya hanya cerita sekilas film tersebut. Film Wanted bagiku cukup membosankan. Awalnya saya suka dengan alurnya. Seorang pemuda yang menjadi pecundang, namun dilatih menjadi sosok berbahaya. Masalahnya, film ini ceritanya nggak begitu jelas, konfliknya datar saja, serta penonton mudah boring. Makanya, film ini tidak saya tuntaskan nontonnya.

Kalau Kungfu Panda II adalah kelanjutan dari film Kungfu Panda I. Sebenarnya, Kungfu Panda II ini adalah bonus yang ada dalam versi DVD original film Kungfu Panda. Cuma karena sang pendagang DVD bajakan bisa mencium peluang bisnis dari film ini, makanya dibuat versi II. Film ini sangat singkat yaitu sekitar 35 menit. Isinya adalah kisah yang dituturkan si Panda Poo saat mengajari kungfu sejumlah anak kelinci. Kisah yang dituturkan Poo adalah asal-usul The Furious Five, mengapa mereka bisa menjadi pendekar pilih tanding, serta bagaimana upaya mereka untuk belajar kungfu. Isinya tak sebaik Kungfu Panda I yang usai menontonnya, saya selalu terkenang kalimat Master Oogway, sang guru besar kura-kura yang bijak dan mengatakan, “Yesterday is history, tomorrow is mistery, and today is a gift. That’s why we call it present.”

Film yang paling saya suka ada dua yaitu The Journey to The Center of Earth (disingkat TJTCE) dan Cinderella Love Story II. Film TJTCE diambil dari naskah klasik Jules Verne. Semua film yang diambil dari naskah Verne selalu menarik bagiku. Misalnya Around the World in 80 Days, Five Week in A Baloon, From the Earth to the Moon, dan Twenty Thousand League Under the Sea. Ciri khas karya Verne adalah selalu berupaya menyibak misteri yang terpendam dan diabaikan oleh manusia pada zamannya. Mungkin karena novel itu disusun pada masa ketika sains baru mulai diretas, makanya sajian karya Verne selalu menantang manusia untuk memecahkan misteri.

Film TJTCE mengisahkan tiga orang yang kemudian berkelana hingga dunia di bawah bumi. Ternyata, pada pusat bumi itu terdapat kehidupan sebagaimana kita di permukaan. Hebatnya, film ini menggunakan teknologi grafik yang sangat detail sehingga saat menyaksikannya, kita serasa berada dalam layar film. Apalagi, saya menyaksikan di laptopku dan ditemani headset sehingga suara gemuruhnya seakan mau keluar. Auman dinosaurus seakan nyata. Saya tiba-tiba takut kalau sang dinosaurus melompat keluar dari laptopku. Aarrgghhh……!!!

Satu lagi film yang kusuka adalah Another Cinderella Love Story (disingkat CLS). Film ini tak ada hubungannya dengan Cinderella Love Story I yang dibintangi Hillary Duff. Kisahnya mirip dongeng Cinderella yaitu tentang wanita dari strata sosial yang biasa saja dan tiba-tiba suatu malam dansa dengan seorang pria tampan seperti pangeran, kemudian pada ending-nya mereka hidup bahagia sebagaimana kalimat yang sering diucapkan dalam dongeng fairytale yaitu they live happily ever after…….

Yang menarik adalah adaptasi kisah Cinderella itu pada masa modern. Sang pangeran itu adalah pria populer di sekolah dan terkenal jago untuk urusan dance modern. Sementara sang wanita justru tidak dikenal sama sekali, namun secara diam-diam belajar dance sehingga kemampuannya di atas rata-rata. Pada suatu pesta topeng, tanpa sengaja wanita itu menari tango bersama sang pangeran. Nuansa musik amerika latin terdengar rancak ketika mereka berdua menari berpasangan. Semua menyaksikan. Sang wanita meliuk-liuk dan sesekali melesat bagai terbang, smeentara sang pangeran mengimbangi sambil terpengarah. Ia tak menyangka ada gadis di sekolah itu yang demikian lihai menari sehingga menarikan tango dengan santai, seolah melepaskan energi yang berjejalan keluar dari tubuhnya. Gerak tari adalah medium yang mengalirkan energi dan lepas mengaum dari tubuh dalam gerakan yang indah. Teng!!! Teng!!!! Jam dinding berdentang 12 kali. Kisah selanjutnya bisa ditebak. Gadis itu lari meninggalkan pesta topeng dan tinggallah sang pangeran yang nelangsa.

Menonton film ini sangat menyenangkan. Saya suka musiknya yang menghentak, gerakan yang aduhai, serta emosi anak muda yang begitu dominan. Film ini saya tonton dua kali karena saya sangat menikmatinya. Sungguh, saya suka film ini. Jelang tidur, saya mengkhayalkan diriku sebagai pangeran itu yang mendatangi sang gadis dengan ucapan, “Would u like to dance with me….?


Depok, 23 november 2008
www.timurangin.blogspot.com


Tak Sabar Menunggu Ujian

SAYA tak sabar menunggu ujian. Tesisku sudah rampung. Saya kaget karena ternyata sangat tebal yaitu 350 halaman. Jarang kulihat tesis setebal itu. Biasanya, yang tebal adalah disertasi. Meski tebal, saya tak yakin isinya sangat berkualitas. Boleh jadi isinya hanya berkualitas dalam terang pandangku yang sederhana. Sementara bagi dosen penguji, kertas tebal itu tak lebih dari seonggok sampah yang tak berguna. Namun saya tak peduli dengan komentar tentang tesisku. Yang penting, saya bisa segera menyelesaikan studi. Saya tak sabar menunggu jadwal ujian. Saya ingin melangkah dengan enteng, tanpa terbebani dengan kewajibanku di UI.


Depok, 23 November 2008


Sudah Seminggu Malas Baca Kompas


SUDAH seminggu headline koran Kompas agak menjemukan bagi saya. Sudah seminggu Kompas menurunkan liputan tentang ancaman krisis global. Hingga kini, saya tak juga paham apa sih pengaruhnya krisis global bagi realitas keseharian negeri ini. Celakanya adalah pihak Kompas mengira bahwa semua orang Indonesia bisa paham dan ikut was-was melihat gejolak krisis global. Kenapa Kompas tidak menyederhanakan pembahasannya bahwa krisis global akan membuat harga-harga naik atau membuat kita satu negeri bakal ikut kelaparan. Kenapa tidak diberikan alert bagi masyarakat bahwa krisis global akan membuat petani di Indramayu kembali makan nasi aking?

Saya rasa, tak semua orang ikut stres memikirkan gejolak ekonomi itu. Saya termasuk dalam barisan orang yang tidak peduli dan tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi. Saya malas baca koran ketika isu finansial serta ekonomi yang jadi headline. Dengan sinis, saya akan bilang, “Ah, yang resah dengan itu hanya mereka yang punya banyak uang, mereka yang punya perusahaan, serta mereka yang tergantung dengan dollar.” Sementara bagi mereka yang tiap hari makan di warteg kayak saya, isu itu jelas sangat membosankan. Lagian, berapa banyak sih mereka yang punya banyak uang di negeri ini? Saya yakin jumlahnya hanya segelintir dari lapisan terbesar di negeri ini yang tak disentuh oleh pemberitaan Kompas. Lapisan terbesar masyarakat di negeri ini tidak dicerahkan dengan pemberitaan media.

Mereka dibiarkan melongo karena tak paham logika ekonomi makro yang rumit itu. Mungkin ini adalah ekses dari dinamika pembangunan kita yang lebih condoong ke wilayah ekonomi. Makanya, segalanya selalu ditanggapi dengan cara berpikir ekonomi makro sehingga media ikut abai pada perkara yang remeh-temeh dan menjadi urusan warga. Kalau Kompas terus seperti ini, saya berencana akan beralih ke Pos Kota. Setidaknya, Pos Kota lebih peka pada denyut masyarakat yang menjadi lapis terbesar negeri ini.(*)

Depok, 22 November 2008
www.timurangin.blogspot.com


Isu Sejarah dalam Festival Keraton

TANGGAL 14 November lalu, saya menghadiri ajang Festival Keraton Nusantara (FKN) di Kabupaten Gowa, Sulsel. Saya tertarik dengan promosi melalui media massa bahwa ajang ini adalah yang terbesar dalam sejarah penyelenggaraan FKN. Sebanyak 38 keraton berpartisipasi di ajang ini. Saya penasaran ingin menyaksikan bagaimana berbagai kebudayaan Nusantara saling belajar bersama dan saling memahami melalui sebuah festival.

Saya selalu suka menyaksikan festival budaya semacam ini. Festival ini mengingatkan kita bahwa Indonesia tidaklah seragam. Indonesia bukanlah satuan yang tunggal dan dirajut oleh ibu pertiwi yang sama. Indonesia dibangun di atas landasan kultural yang beragam dan berbeda-beda. Namun kebudayaan yang beragam itu bisa membangun sebuah konsensus dan persilangan demi kesepahaman dan kerja sama. Kita bisa menjelajahi sejarah demi menemukan pertautan antar kebudayaan dan bagaimana mereka mempersembahkan tarian pluralitas dalam interaksi dan dialog kebudayaan yang harmoni.

Meski agak telat menghadiri pembukaan di Lapangan Syekh Yusuf, Gowa, saya cukup puas menyaksikan defile berbagai keraton. Saya lebih suka menyaksikan defile kerajaan di Indonesia timur. Masing-masing menampilkan keperkasaan dan kehebatan. Pasukan Gowa menampilkan bala tentara yang tampak perkasa dan diiringi puisi perlawanan yang mendidihkan darah. Demikian pula dengan pasukan Ternate, pasukan Buton, dan kerajaan lainnya. Episode penting dalam jejak Kerajaan Gowa adalah ketika mempersembahkan sebuah pertarungan paling dahsyat dalam sejarah kehadiran Belanda di Nusantara. Meskipun Gowa kalah dan menandatangani Perjanjian Bungaya, namun semangat Sultan Hasanuddin seakan menetes-netes dalam sanubari masyarakat Gowa hingga kini. Mungkin, semangat itu pula yang tetap menetes di darah Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, yang pada hari itu dengan bangga selalu menyebut nama Hasanuddin.

Saya melihat ada hal menarik di ajang kolosal itu. Jika Gowa selalu membanggakan Sultan Hasanuddin, bagaimana pula dengan persepsi kerajaan lainnya tentang sultan itu? Bukankah pada masa itu Sultan Hasanuddin digempur dari beragam sisi oleh Belanda yang bekerja sama dengan pasukan Bugis yang dipimpin si gagah Arung Palakka? Bukankah saat itu, pasukan Bugis juga dibantu pasukan yang gagah berani dari Kesultanan Buton dan Ternate? Tidak inginkah Bugis, Buton,dan Ternate mengulangi pertempuran yang sungguh dahsyat itu?

Saya hanya bercanda. Itu adalah dinamika di masa silam. Kita hanya bisa melihat masa silam dengan portal sejarah. Tentunya, kita tak mungkin mengulanginya. Mungkin hanya Doraemon, Sun Go Kong, dan Hanuman, yang bisa memutar mundur jarum sejarah. Jejak masa silam yang tersisa hingga kini adalah sebuah prasangka yang boleh jadi akan susah menghapusnya. Para sosiolog menyebutnya stereotype, sebuah situasi di mana kita nyinyir melihat etnis lain. Kita merasa besar dan melihat yang lain dengan sebelah mata. Semacam keangkuhan yang disamarkan melalui sikap memandang enteng.

Stereotype adalah produk berpikir manusia di masa kini. Kita melihat masa silam kemudian memelihara stereotype di masa kini. Jangan heran jika kemudian manusia masa kini punya stereotype pada mereka yang berbeda dengannya. Jangan heran pula jika dalam fragmen Perang Makassar, beberapa daerah disebut pengkhianat oleh Gowa. Barangkali ini faktor sejarah kita yang disajikan dengan tidak adil. Ketika Indonesia berdiri, banyak etnis besar yang sejarahnya dijadikan patokan. Kerajaan yang kecil-kecil itu sejarahnya dinafikan dan dianggap angin lalu saja. Ketika Bugis, Buton, dan Ternate dianggap pengkhianat dalam sejarah, maka itu adalah buah dari stereotype yang kita pelihara karena tidak pernah tuntas membaca sejarah.

Sebuah peristiwa masa lalu bisa menjadi heroik di masa kini. Semuanya tergantung pada titik pijak (standpoint) kita dalam memahami dinamika sejarah. Bagi orang Gowa, Sultan Hasanuddin adalah seorang hero yang siap menjadi martir bagi negerinya. Sementara bagi orang Bugis dan Buton, Hasanuddin adalah seorang tiran yang mengukuhkan rezim pemerintahannya dengan tangan besi. Hasanuddin adalah horor bagi negeri-negeri yang dihembus angin timur sebab bala tentaranya ekspansif dan sering mencaplok wilayah. Kearifan ilmu Syekh Yusuf adalah nyanyi sunyi di negeri yang selalu membanggakan keperkasaan itu.

Namun benarkah kata pengkhianat itu jika dilabel terhadap Bugis, Buton, dan Ternate? Kayaknya saya tidak sepakat. Membaca kepingan masa lalu harus diiringi dengan sikap memahami historical mindedness. Kita harus bisa sedapat mungkin melemparkan diri kita ke masa itu kemudian memahami pola pikir manusia di masa itu. Kita tak mungkin membawa prasangka kita di masa kini demi menjelaskan kejadian di masa lalu. Bagaimana mungkin disebut berkhianat jika di masa itu Indonesia belum terbentuk. Berada di bawah payung Indonesia membuat kita selalu menilai sesuatu dengan cara pikir Indonesia yang merasa benci pada Belanda. Kitapun ikut membenci Belanda. Padahal dalam sejumlah kerajaan di timur Nusantara, kehadiran Belanda adalah kehadiran sosok mitra yang cerdas dan memperkaya dialog kebudayaan. Dinamika masa itu adalah dinamika regional antar kerajaan atau antar negara yang kemudian kian memanas ketika Belanda menawarkan senyum yang membebaskan kerajaan kecil lainnya.

Saya hanya bisa menggumam. Saya sendiri tidak yakin jika mereka yang menyaksikan defile itu bisa memahami bagaimana dinamika masa silam. Di negeri ini, sejarah hanya catatan kaki yang dianggap tidak penting dari sains rekayasa yang dikembangkan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sejarah seolah tidak penting sebab hanya membahas mereka yang sudah meninggal dan tiba-tiba ditahbiskan sebagai pahlawan.

Toh, masa lalu dianggap sudah lepas berlalu. Hari ini saya menyaksikan jejak masa silam itu dalam defile. Masing-masing dengan keperkasaan dan kehebatannya. Semua pasukan itu tinggal kenangan yang di masa kini hanya diperankan saja oleh sejumlah figuran yang banyak di antaranya memakai lipstick menor. Setidaknya ada sukma dan spirit yang masih tersisa di masa kini. Meskipun setelah itu, spirit tersebut tersaput angin tatkala kita bergegas pulang dan menyalakan televisi.(*)

Makassar, 14 November 2008
www.timurangin.blogspot.com


Foto Terbaik di Perjalanan

BIASANYA dalam setiap perjalananku, saya berusaha menampilkan beberapa foto saya yang saya anggap paling bagus selama di perjalanan. Saya ke Buton pada tanggal 30 September hingga 7 November kemarin. Sepanjang perjalanan itu, beberapa kali saya memotret dengan kamera digital yang sederhana. Kali ini saya akan menampilkan beberapa foto anak kecil yang mengikuti karnaval di Buton. Saya selalu senang ketika memotret anak kecil. Ada binar bahagia dan ekspresi yang sukar ditemukan ketika mengamati orang dewasa. Anak kecil punya ekspresi lurus dan tidak menyimpan muslihat. Sorot mata bening serta garis wajah yang sangat tenang itu, beberapa kali saya potret demi memperkaya seri foto yang saya tampilkan. Selain itu, beberapa foto budaya dan pesta adat, sempat pula saya ambil. Selamat menyaksikan…

Foto di atas ini adalah foto terbaik saya. Saya beruntung bisa mendapatkan moment terbaik seperti ini. Sejak barisan anak ini melintas, saya sudah jatuh cinta melihat anak berpakaian adat Buton serta berkacamata hitam ini. Segera saya memotretnya. Dari sejumlah pose, inilah yang saya anggap paling bagus. Ekspresinya sangat cantik.

Anak kecil ini adalah siswa TK Batu Poaro, Bau-Bau. Saat dipotret ia baru saja usai menangis karena tidak melihat ibunya di sampingnya. Dunia anak kecil adalah sebuah dunia yang sangat bergantung pada jaringan kekerabatan. Ia harus dekat mendapatkan limpahan kasih demi menumbuhkan kepribadiannya kelak.

Jika anak ini besar, ia akan sangat cantik. Lihat saja ekspresi serta bibirnya yang mirip artis Maria Renata. Dengan pakaian adat, sisiran rambut, serta lipstik tipis, membuat anak ini jadi dewi yang mempesona.

Saya juga memfavoritkan foto ini. Seorang anak dengan pakaian Bugis yang cantik. Ketika saya hendak potret, awalnya ia menoleh ke tempat lain. Namun, seorang guru TK yang ayu tiba-tiba memanggil namanya. “Lastri... lihat kamera. Tuh, ada Om Tampan yang mau motret.“ Duh..... dipanggil Om Tampan membuat saya semangat. Setelah memotret, saya lalu datang kenalan dengan guru yang ayu itu. “Maaf boleh kenalan. Saya tadi yang disapa Om Tampan...“ kataku dengan cengengesan serta wajah yang bersemu kemerahan.

Foto ini adalah seorang gadis yang bersiap-siap memainkan permainan tradisional Pebudo. Saya memotret gadis-gadis ini di ajang Festival Batu Poaro di Wameo. Dalam permainan ini, si gadis dan timnya membawa kerang laut dengan beragam cara. Siapa yang emnang adalah mereka yang membawa kerang itu hingga finish dan tidak jatuh.


Penjelasan foto ini sama dengan di atas. Gimana komentar teman-teman? Ditunggu komentarnya lho.......

Saatnya Kembali ke Rutinitas

SUDAH waktunya saya tuntaskan beban studi di UI. Saya mulai lelah menjalani hari tanpa rutinitas. Dulu, saya berhenti kerja sebagai jurnalis karena lelah dengan ritunitas. Sekarang, situasinya berubah. Saya mulai merindukan rutinitas. Saya rindu menjalani hidup dengan dibebani target pencapaian tertentu. Saya rindu dengan berbuat yang terbaik kemudian mendapatkan apresiasi di mana-mana. Saya sorang workaholic yang sekarang tak punya kerjaan.

Dua hari yang lalu, saya bertemu banyak teman-teman satu profesi. Saat itulah saya baru tersadarkan bahwa menjalani aktivitas dan ritunitas adalah bagian dari tantangan hidup yang harus dijalani. Saya gamang, apakah saya akan kembali ke profesi lama ataukah mencari tantangan lain? Yang jelas, hingga kini saya belum berpikir untuk memilih hidup di dunia birokrasi. Cita-cita saya (mungkin agak kasip jika masih bicara cita-cita) cuma tiga yaitu menjadi penulis, peneliti, atau menjadi orang kaya. Saya masih punya harapan untuk memetik sedikit buah dari jalan yang sedang saya hamparkan itu. Semoga...

Membuka Kotak Pandora Nasib

”.....ketika Pandora membuka kotak pemberian Zeus tersebut,
segera keluarlah beragam kemalangan, penderitaan,
dan nestapa yang akan menjadi duri
dalam ziarah perjalanan umat manusia.”

---- Friedrich Nietzsche


KISAH Pandora dalam mitologi Yunani ini menjadi kisah yang disebut asal-muasal semua tragedi kekerasan dan kemalangan manusia. Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan oleh Dewa Hephaestus atas permintaan Zeus, sebagai penghuni bumi. Ketika kotak dibuka, berjejalan keluar monster yang akan membawa derita bagi manusia di muka bumi. Kisah pandora tersebut pertama kali saya baca dalam karya Nietzsche yang berjudul Thus Spoken Zarathustra.

Kata Nietzsche, andaikan Pandora tidak membuka kotak tersebut, barangkali tidak ada kemalangan di muka bumi ini. Sayangnya, kelanjutan mitos ini jarang sekali dikisahkan. Padahal, pada bagian lanjutan kisah itu, Pandora yang jelita itu bersedih lantaran kemalangan hingga menangis tersedu-sedu. Ia lalu bergerak cepat hendak menutup kotak yang mengeluarkan semua kemalangan. Namun, saat itu juga keluarlah kupu-kupu harapan sebagai penawar dari kemalangan tersebut. Manusia akan menjalani nestapa, namun harapan akan membuat manusia tersebut selalu bertahan dan menjalani hari dengan bahagia. Manusia akan bersedih ketika monster bencana menghajar, namun manusia selalu bahagia sebab meyakini akan ada kupu-kupu harapan yang datang menyapa.

Mitologi Yunani menang banyak berisikan kisah tragik yang menyimpan dua sisi dalam kehidupan. Banyak mitos Yunani yang dimulai dengan ramalan (prediksi), namun berakhir dengan tragik. Semisal Oediphus yang saat lahir diramal akan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya ketika dewasa. Oediphus lalu diasingkan. Ia lalu tumbuh dalam balutan semangat untuk menentang otoritas para dewa. Sayang sekali, Oediphus tak kuasa menahan laju takdir. Ia melakukan hal yang digariskan dalam nujum.

Kisah Dewi Pandora agak berbeda dengan kisah Yunani lainnya. Namun tetap saja ada benang merah yang ditarik yaitu hidup berjalan seimbang. Sebuah guncangan akan mempengaruhi sisi lain kehidupan. Keseimbangan alam akan tercipta manakala dua sisi tersebut mengalami dialektika secara terus-menerus sehingga saling mengontrol. Kedua sisi dalam hidup itu adalah instrumen untuk menjaga keseimbangan alam sekaligus kisah yang mengandung ajaran moralitas.

Dua sisi yaitu bencana dan harapan adalah logika berpasangan yang dijelaskan Levi Strauss sebagai oposisi biner. Yang satu menegasi yang lain. Saya menemukan dua sisi ini ketika mewawancarai sejumlah korban komunis di Pulau Buton. Dua sisi itu hadir bersama-sama dalam diri individu kala membahas peristiwa itu. Sisi nestapa akan hadir tatkala membahas bagaimana penangkapan dan penyiksaan, namun sisi harapan akan mencuat kala membahas bagaimana nasib para penyiksa yang kemudian kerap disebut bekerjanya hukum keadilan Tuhan atas manusia di muka bumi. Sepanjang penelitian saya di Buton, saya selalu menemui kisah-kisah yang berisikan nestapa dan sedu sedan, namun sering pula saya menemukan sorot mata dan binar bahagia ketika kisah nasib para penyiksa itu dituturkan. Sebagaimana halnya dua sisi dari kotak pandora, para informan mengisahkannya dengan ekspresi yang berbeda. Jika kisah penyiksaan disampaikan dalam tutur kata yang pelan dan diselingi air mata yang menetes, maka kisah para penyiksa disampaikan dalam bahasa yang meledak-ledak seakan penuh semangat.(*)

Memories of Communist Victims at Buton Island: An Anthropological Studies on Historicity and Memories.

There have been major studies about Partai Komunis Indonesia (Indonesia Communist Party) and its rebellions. Most of them were paying attention on either the massacre or the actors involved in one of the most unforgettable episode ever happening in Indonesia. Such studies can be found in many researchers’ work, namely Anderson (1977), Cribb (1990), Crouch (1973), Lev (1966), Robinson (1995), Sulistiyo (2000), and Suryawan (2007). While they focused on the massacre, numbers of victims, and other statistical facts, I am trying to identify how the mass murder created traumatic and painful memories in every victim's head and how they interpret them. For many years, PKI tragedy have awaken everlasting trauma for Indonesian, especially the victim's themselves. Tough the government held ritual ceremonies yearly, yet it recalled only the memories about what happened in long time past.

What people experiences from the massacre are clearly saved in individual's head or in limited conversation? Orde Baru’s threatening had made victims hesitate to tell their stories. Therefore, they became silent, instead. On the other hand, through cultural strategy, the government forced a single social memory of the mass destruction. As a result, rests of people were justified guilty of being insurgent. Living in such under pressured condition, the cracks wasn't suddenly healed. They have spelled for years and have become collective memories experienced by the whole people of Indonesia. They keep staying behind either in individuals or collective trauma tried to be buried for long. The prints have also influenced human's activities. In my opinion, linking those puzzles of aching memories into an integral part is a starting point in my research.

Problem Formulation

I became interested to choose Buton Island which is far from center of power as my research setting considering that this kind of study mostly focused in Central Java, East Java, and Bali's term of condition. Though the large amount of injured party is undeniable --Cribbs called it as the killing fields--, this idea might brought them into statistical numbers. In the end, those victims lived outside the fields have no suitable chance to speak.

This project is not intended to be a tight history research through archives and historical documentations. Instead, it is an anthropological research demands on field studies and empirical fact searching. During my research, I am not going to find out how PKI rebelled, as an oral historical researcher did. I intend to see how memories of a historical event captured and uttered culturally by subject and communities. Focused on cultural aspect, I took ethnography as my research method. By doing so, meaning can be recognized, not only from subject's experiences, but also how they arranged strategy and dealt with situations after the massacre. Ethnography helps me understanding both on how historical events influenced human activities and why memories remain or be forgotten.

A major strain has been represented by the cultural perspective: a way to investigate individual, collective, and social memory based on the analysis of particular cultural symbols and their relation to the exercise of power. In this respect, the main aim is to understand how cultural meanings are produced, how an external object (such as a memorial or a museum) can deeply intervene in the reconstruction of a certain past. Collective memories are conceived in the relation between form and content. The meaning of the past ‘‘emerges and is sustained through the dynamic interaction between the content of historical events and the forms of collective memory available to those intent on their preservation and public inscription’’ (Wagner-Pacifici, 1996: 301). Studies concerned with remembering at the cultural level generally focus on documenting the extent of cultural symbols in shaping the content and the meaning of an historical event.

Balla Lompoa yang Kehilangan Getar

KEMARIN, Istana Balla Lompoa dikosongkan. Mereka –para keluarga raja—yang menghuni istana itu dipaksa pindah. Mereka harus mengosongkan rumah bersejarah sebab pemerintah kabupaten akan menggelar hajatan Festival Keraton Nusantara (FKN) yang akan mempertemukan seluruh keraton di nusantara. Sebuah rumah yang dulunya menjadi sentrum gravitasi kesultanan, titik pusat kharisma pemerintahan, sekarang menjadi rumah kayu biasa yang tanpa pengaruh sama sekali.

Sebuah rumah, tempat di mana segala hal dipertaruhkan termasuk nyawa manusia, kini menjadi sepi dan tontonan banyak orang. Ada sorak-sorai membahana, sekaligus rasa miris menyaksikan rumah itu dipreteli dan para penghuninya dipaksa hengkang. Para keluarga raja yang menghuni rumah itu merasa berhak tinggal dan menjalani hari. Namun, pemerintah juga punya dalih dan klaim atas nama undang-undang dan tanggungjawab memangku negeri di era modern ini. Apa boleh buat. Suara para turunan raja itu menjadi suara yang lirih dan nyaris tak terdengar dalam gerak zaman hai ini. Suara mereka tak lagi menggetarkan. Gelar karaeng itu sudah diturunkan derajatnya. Seolah suara masa silam yang tanpa wibawa dan pengaruh.

Saya melihat ada beberapa isu penting yang menarik untuk ditelaah. Pertama, barangkali inilah zaman di mana segala yang tradisional seakan digerus dan menjadi monumen nostalgia semata. Berbagai gelar dan atribut masa silam adalah lagu lama yang usang diperdengarkan di masa kini. Kita, generasi masa kini, adaah generasi tanpa romantisme, generasi tanpa sejarah yang melihat masa silam tidak lebih dari episode kegemilangan dalam rentang peradaban manusia. Kita tidak pernah berpikir bahwa masa silam bisa hadir dan menyapa kita hari ini melalui sejumlah cerita yang kelak memperkaya ziarah kemanusiaan kita hari ini. Masa silam hanya menjadi seonggok cerita lama, tanpa keinginan menyerap mutiara hikmah yang membuat langkah kita lebih rentang ke depan. Maka zaman kita hari ini adalah zaman tanpa visi yang merentang jauh, yang digali dari telaah atas situasi kelampauan, melihat realitas kekinian dan memandang keakanan. Kita generasi yang terombang-ambing dalam laut sejarah, tanpa peta dan pelampung yang bisa menjadi mercu suar bagi zaman kita hari ini.

Kedua, transformasi dari tatanan tradisional ke tatanan yang modern tidaklah diantisipasi oleh mereka yang menghuni istana kerajaan. Mereka seakan membeku dalam waktu. Mereka seakan hidup dalam zaman yang statis dan tidak mampu mengarahkan bahtera kesultanan pada zaman yang lebih modern dan lebih adaptif. Sejarawan Arnold Toynbee punya teori tentang dinamika challenge and response. Sebuah peradaban akan selalu berhadapan dengan tantangan (challenge) dan mereka harus menyediakan jawaban-jawaban (response) yang sifatnya kreatif demi menjaga tegaknya peradaban. Ketika sebuah kebudayaan atau peradaban gagal menghadirkan jawaban kreatif atas tantangan yang dihadapinya, maka kebudayaan itu akan tenggelam dalam arus sejarah dan hanya menyisakan sebuah nama saja untuk dikenang atau ditelusuri jejaknya. Toynbee menunjuk beberapa peradaban seperti Mesir atau Sumeria yang tenggelam dan berakhir gerak sejarahnya.

Saya menilai Gowa dan sebagian besar kerajaan di Indonesia timur, kehilangan jawaban kreatif atas situasi zamannya. Tatkala modernisasi menggempur dan nilai lama mulai memudar, para keluarga raja itu hanya hidup dalam waktu yang seakan membeku. Tatkala Indonesia menggerus tatanan yang sudah berusia ratusan tahun, mereka tak berdaya dan dipreteli kuasanya. Mereka masih saja mengandalkan “kesaktian” atau kehebatan yang diwariskan secara genetic seolah seorang raja bisa menyihir rakyatnya menjadi monyet ketika membangkang. Mereka tidak memperkaya dirinya dengan pendidikan dan penguasaan akan sains yang menjadi lampu terang bagi peradaban modern. Mereka perlahan hidup dalam gelap dan mulai tak berdaya ketika hadir sejumlah elite baru yang menguasai sains sekaligus menaklukan peradaban.

Kita tak belajar dari Kekaisaran Jepang yang berhasil memasuki modernisasi, tanpa kehilangan identitas sebagai bangsa Jepang. Kekaisaran sukses melakukan transformasi dan memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan serta semangat modernitas yang menyala-nyala dalam jiwa bangsanya. Atau bangsa Kerajaan Thailand yang sukses membangun pusat riset dan pengembangan kesejahteraan rakyat. Raja Thailand adalah sosok yang dicintai setinggi langit, bukan karena karomah dan kesaktiannya, namun karena ikhtiarnya yang menyala-nyala demi menyejahterakan rakyatnya –yang sebagian besar berada di pedesaan.

Barangkali kita tak terkejut ketika menyaksikan olahragawan Thailand yang membawa foto rajanya di ajang olahraga sekelas Asian Games. Ada semangat kecintaan pada raja sebab sang raja tidak berdiri di menara gading, namun turun membumi dan menterjemahkan kuasanya menjadi berkah atau rahmat bagi umat.

Namun di jejak Kesultanan Gowa, apakah yang bisa kita saksikan? Sebuah miris dan mereka yang menjerit tak berdaya dan masih mengklaim dirinya sebagai penguasa masa silam yang memangku negeri dan berhak memutuskan hidup mati seseorang. Duh….


Makassar, 10 November 2008


Amrozy dan Gemuruh Peta Sosial Kita

HARI ini, saya menyaksikan sebuah tayangan yang menggetarkan hati. Tiga terpidana bom Bali yaitu Amrozy, Mukhlas, dan Imam Samudera telah dieksekusi. Jenazah ketiganya dibawa ke rumah masing-masing dengan penuh pekik dan teriakan Allahu Akbar. Massa menyemut dan bergerak bagai air bah menemani jenazah ketiga sosok itu ke liang lahat. Alam seakan bersedih ketika mendung menebal dan rintik-rintik hujan turun tetes demi tetes.

Saya menyaksikan spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Syuhada.” Meskipun saya sendiri bertanya, apakah ada syuhada dalam keranda hijau yang berbalut kain dengan huruf Arab itu. Apakah ada jalan terang yang sedang membuka untuk jenazah itu? Sebuah jalan yang konon katanya sangat lempang dan hanya ditujukan buat mereka yang syahid demi keyakinannya.

Segudang pertanyaan berseliweran di benakku. Apakah Allah sedang tersenyum dan mengembangkan tangan untuk ketiga sosok itu? Apakah Allah menempatkan mereka pada titik terindah di surga-Nya? Apakah ketiga sosok itu akan disambut jerit marah dari arwah para korban bom yang masih geram karena tewas secara mengenaskan dan keluarganya harus menjalani hidup yang berat?

Menyaksikan kejadian itu melalui televisi, saya cukup lama tertegun. Pekik Allahu Akbar dan massa yang berduyun-duyun itu seakan menegaskan keyakinan publik bahwa Amrozy cs tewas dalam satu ritus ziarah spiritual yang agung demi menegakkan kalimat Allah. Walau pemerintah melabel mereka dengan teroris dan bukan jalan Islam, tetap tidak mengubah pandangan publik bahwa ketiganya mati di jalan kebenaran.

Fenomena yang saya saksikan ini memberikan isyarat bahwa ada pengkutuban yang cukup tegas dalam melihat fenomena Islam dan jalan kesyahidan. Nampaknya, dua kutub asumsi yaitu surga dan neraka telah menjadi asumsi yang paling umum dalam arus besar diskursus tentang matinya ketiga sosok itu. Saya teringat Levi Strauss yang punya teori tentang the deepest structure of mind. Kata Strauss, benak berpikir manusia dipenuhi logika berpasang-pasangan yang berhadapan. Manusia membangun dua kutub kategori yang berpasangan seperti kiri-kanan, baik-buruk, indah-tidak indah. Kategorisasi ini adalah fenomena yang universal dan berlaku pada semua manusia di manapun. Amrozy pun membangun dua kategori tersebut. Pernyataannya tentang hanya ada dua jalan yaitu jalan Islam dalam jalan kafir, adalah bentuk pandangan dunianya yang melihat realitas secara sederhana. Ia memilih jalan pada realitas yang sederhana itu.

Amrozy mewakili satu tafsir atau interpretasi ajaran. Sejak masa Rasulullah, persoalan tafsir ini tak pernah bisa tungal dan selalu saja berbeda. Sebuah tafsir dari Rasulullah, kemudian membiak dan berujung pada temali perbedaan yang rapuh. Fenomena Amrozy kian menunjukkan tafsir yang berbiak itu. Orang-orang kembali memperdebatkan apakah ketiganya diposisikan ke surga ataukah neraka. Pilihan pendapat orang menunjukkan posisinya dalam memandang religiusitas serta jalan spiritual. Namun, apakah jalan itu memang hanya dua? Apakah kita terpaksa memilih satu dari dua itu? Bisakah saya memilih tempat yang bukan surga dan bukan neraka? Mungkinkah , dunia pasca-kematian adalah sebuah dunia di mana pengkutuban itu menjadi serba kabur dan tidak jelas. Dan manusia bebas memilih hendak ke mana atau tak berdaya ketika Yang Maha Memilih telah menjatuhkan pilihan untuk kita.

Namun, terus larut dalam perdebatan isu ini bukanlah hal yang produktif. Itu hanya kegenitan berpikir manusia Islam hari ini. Religiusitas ibarat mengumpulkan bekal demi perjalanan jauh. Persoalan di mana posisi gerak Amrozy, itu adalah urusan Allah sendiri. Apakah berada di surga atau neraka, semuanya adalah kemurahan Allah. Neraka sekalipun –sepanjang itu adalah pilihan Allah—tetap menjadi surga bagi siapapun. Persoalan yang menurutku lebih menarik dibahas adalah bagaimana memposisikan peta sosial kita dalam mempersepsi kematian Amrozy cs. Nampaknya, dunia social kita berhadapan dengan satu tanda yang kemudian mengkutubkan masyarakat dalam beragam posisi berpijak. Fenomena Amrozy cs seakan mengingatkan kita bahwa soal teologi atau keberagamaan tak pernah bias tunggal. Teologi atau cara pandang manusia pada jalan Allah adalah sebuah keniscayaan yang menghamparkan kita pada lingkaran debat yang tak beresudahan.

Maka, biarlah kita menyaksikan saja dua titik kutub keberislaman itu. Mereka yang mendukung Amrozy ataukah meeka yang mendukung pemerintah –yang melabel Amrozy dengan label teroris.

Namun apapun sebutan itu, saya tetap saja salut dengan pilihan Amrozy cs. Meminjam istilah Dee, mereka adalah pahlawan abad 21 yang menghadapi kematian dengan senyum. Mereka menjadikan kematian sebagai pilihan rasional dan demi menegakkan satu keyakinan atau ideology. Mereka tidak melangitkan satu ideologi, namun mereka telah menggiring ideologi untuk berpijak ke bumi. Mereka telah mencoba menegakkan yang mereka yakini yaitu membangun Kerajaan Allah di muka bumi.

Satu hal yang saya salut, ketiganya sedang meneriakkan pesan pada dunia tentang Amerika yang brutal. Ketiganya sedang berteriak di bawah desingan peluru bahwa umat Islam adalah saudara yang harus merasa sakit ketika saudara lainnya disiksa, bahkan meski siksa itu dilakukan oleh negara yang superpower sekalipun.

Barangkali, ini adalah persoalan metodologi. Cara Amrozy menyampaikan kegelisahannya telah meluluhlantakkan sebuah negeri di mana ratusan orang yang tak bersalah ikut menjadi korban. Sebagaimana sering dikatakan Imam Samudera –sosok yang bermata elang itu--, mereka menjadi korban karena berada di tengah suasana yang kafir. Metodologi yang mereka pilih adalah suatu metodologi yang telah membunuh mereka yang tak tahu apa-apa tentang kejadian itu.

Metodologi hanyalah manifestasi dari sebuah jalan yang secara sadar kita pilih demi menegakkan ideologi. Mungkin, di sinilah letak dilemanya sebuah ideologi. Sebagaimana kata Karl Marx, ideologi bisa menggerakkan, namun sekaligus bisa membutakan. Keyakinan tentang Amerika telah membutakan nalar dan logika. Jangan-jangan itu hanya wacana yang semu tanpa realitas. Seolah ada, namun sesungguhnya seperti debu yang disaput angin. Keyakinan itu menjelma menjadi api yang membakar. Mungkin di sinilah kita bisa memposisikan Amrozy dan mereka yang memilih jihad itu.


Makassar, 9 November 2008