Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mestinya HMI Dibubarkan Sejak Dulu


KEMARIN adalah hari pertama Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Hampir semua media nasional memuat berita tentang ajang terbesar di HMI yang megah digelar setiap dua tahunan tersebut. Namun, adakah orang yang sempat melirik bahwa di Kota Makassar warga HMI terlibat perkelahian massal hanya karena urusan keberangkatan ke arena kongres yang tertunda?

Saya akan mengisahkannya secara singkat. Dua hari yang lalu, ratusan anggota HMI asal Sulawesi Selatan yang hendak berangkat ke Palembang, terlibat insiden perkelahian dengan security di Pelabuhan Makassar. Mereka berkelahi karena kapal Pelni –yang semestinya mereka tumpangi—tiba-tiba berangkat lebih cepat dari jadwal.

Betapa tidak, anggota HMI itu ngotot meminta potongan biaya tiket dengan dalih mengantongi surat keringanan dari pihak Dephub. Sementara pihak PT Pelni tidak mau menurunkan biaya tiket sesuai dengan permintaan mahasiswa. Pelni ingin mahasiswa membayar Rp 70 juta –sesuai dengan ketentuan diskon kapal--, tetapi pihak mahasiswa ngotot ingin membayar hanya Rp 20 juta. Pihak kapal yang tak mau rugi dengan itu, terpaksa berangkat lebih cepat dari jadwal sembari ketakutan karena anak HMI mengancam akan memboikot kapal. Anak HMI mengamuk. Mereka lalu berkelahi dengan security pelabuhan.

Menurut informasi, beberapa bagian kapal tersebut sempat tergores karena kapal memaksakan pergi, tanpa arahan dari kapal pandu. Ternyata, pihak kapal merasa ketakutan karena ratusan anak HMI sudah memenuhi pelabuhan dan ngotot hendak ikut kapal, meskipun tidak memiliki biaya yang memadai. Mereka takut disabotase. Saya mendengar cerita sedih dari banyak penumpang transit yang tertinggal kapal. Malah, ada penumpang yang meninggalkan ibunya yang sedang sakit di atas kapal dan tak bisa naik kapal lagi sebab kapal langsung berangkat. Apakah ini semata kesalahan pihak kapal? Saya kira tidak. Siapapun akan takut melihat massa mahasiswa yang beringas dengan jumlah ratusan dan bergerak dengan tuntutan. Siapapun akan gentar menyaksikan massa mahasiswa sedang beringas dan memaksakan sesuatu. Bukannya meneriakkan kepentingan rakyat, namun mahasiswa itu sedang menunjukkan perilakunya yang menabrak segala aturan dan merobohkan nilai yang semestinya dia bela. Inikah potret negeri ini dan calon pemimpinnya?

Setiap mendengar kepingan kenyataan tentang HMI, saya selalu merasa sedih. Betapa tidak, sebuah organisasi yang mengklaim dirinya sebagai intelektual, selalu saja berbuat onar dengan dalih atas nama kepentingan orang banyak. Sebuah organisasi yang menyebut dirinya bernapaskan Islam, namun semua tindakannya seakan sangat jauh dari semangat kedamaian Islam yang dihembuskan Rasulullah nun di beberapa abad sebelumnya. Sebuah organisasi yang katanya punya sejarah melahirkan intelektual Islam, bisa bertindak seperti preman yaitu menyandera kapal, menyulitkan begitu banyak rakyat yang hendak menggunakan kapal tersebut, menebar teror dan ketakutan, dan di saat bersamaan, masih mengklaim dirinya sebagai pembawa hati nurani rakyat Inikah potret HMI? Inikah potret buram dari organisasi Islam di Indonesia?

Saya selalu sedih setiap membaca berita tentang perilaku warga HMI. Insiden di Kota Makassar kemarin hanyalah kepingan kecil dari berbagai cerita miring tentang warga HMI. Organisasi ini punya banyak andil dalam setiap demonstrasi (kemudian mengajukan proposal minta duit), menjadi kaki tangan politisi, ikut dalam kisruh politik di daerah, hingga praktik kotor di organisasi mahasiswa. Dulunya, organisasi ini punya kebanggaan pada sejumlah intelektual yang rahim dari HMI. Namun seberapa banyak jumlah mereka dibandingkan mayoritas massa mengambang lainnya? Berapa banyak mereka yang menekuni dunia ilmiah jika dibandingkan mereka yang menghamba pada ketiak para penguasa? Seberapa banyak intelektual dan kaum terpelajar dibanding mereka yang membebek pada penguasa dan sibuk mengincar proyek demi mengenyangkan perutnya sendiri?

Saya tidak sedang emosional. Saya sedang mengeluarkan luapan kekesalan saya. Sebagai orang yang dibesarkan di organisasi itu, saya bisa merasakan tarikan yang sangat kuat organisasi ini ke dunia politik. Bersentuhan dengan dunia politik, membuat anak HMI seakan-akan punya power besar untuk menerabas semua struktur dan aturan yang berlaku di negeri ini. Seolah-olah semua pembuat peraturan di negeri ini adalah anak HMI sehingga mereka merasa memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu sekehendaknya. Akhirnya, mereka mengidap kepribadian yang paradoksal: di satu sisi berteriak keadilan, di sisi lain selalu melakukan penindasan.

Saya cukup lama bergaul dengan teman-teman yang aktif di Pengurus Besar (PB) HMI. Setiap ketemu mereka, saya selalu merasa risih. Saya tidak lagi merasakan aroma intelektualitas dan spiritualitas. Bahasa intelek dan spiritual seakan menjadi nyanyi sunyi di kalangan kader HMI. Mereka selalu membanggakan dirinya yang dekat dengan pejabat A atau dekat dengan elite politik tertentu. Mereka bangga dengan abangnya yang jadi anggota DPR. Mereka seakan sinis dengan banyak aktivis yang menerjunkan dirinya ke grass root dan merasakan denyut nadi kehidupan rakyat banyak. Momentum kongres HMI adalah momentum yang paling binal di mataku. Pembicaraan tentang masa depan organisasi menjadi tidak penting sebab ditutupi oleh wacana alot siapa yang akan menjadi ketua. Uang sogok beredar. Strategi elite politik memasuki lapisan semua kandidat ketua. Uang digelontorkan demi memenangkan kandidat tertentu.

Selama beberapa minggu di Jakarta untuk menyelesaikan studi, saya tinggal di rumah teman yang akan bersaing menjadi ketua PB HMI. Setiap hari saya mendengar cerita temanku tentang upayanya menjadi ketua. Ia harus menemui banyak alumni HMI yang terjun ke dunia politik untuk memastikan langkahnya sekaligus memastikan akan mendapatkan bantuan dana segar. Ia membutuhkan anggaran sekitar miliaran rupiah untuk menyogok semua cabang agar menjatuhkan pilihan hanya kepada dirinya. Ia sering bercerita betapa pragmatisnya kader HMI di daerah. “Masak, untuk mendapatkan surat dukungan dari satu cabang, saya harus menyiapkan uang untuk menanggung biaya tiket pesawat pulang balik dari 10 pengurus cabang, kemudian biaya kontrak sekretariat serta anggaran pengadaan komputer. Apakah itu bukan namanya pragmatis? Di mana saya harus dapat uang?” keluhnya kepadaku.

Ia bercerita bagaimana sulitnya menembus jaringan kelompok Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI). Didukung Jusuf kalla, itu sama dengan didukung kelompok dengan dana besar yang cukup untuk memenangkan kongres. Ternyata, ia kalah cepat dibandingkan dengan kandidat lain. Ia lalu melobi Aksa Mahmud (Wakil Ketua MPR RI). Namun seorang teman yang menjadi Staf Ahli DPR dan asisten pribadi Aksa seakan merintangi langkahnya. Aksesnya ke sejumlah anggota dewan seakan “terkunci” oleh teman yang ada di DPR. Ia berpaling ke Fadel Muhammad. Fadel bersedia membantu dengan syarat namanya diwacanakan sebagai calon presiden. Temanku juga melobi ke Cikeas (kubu Presiden SBY), dan disetujui dengan syarat siap memotong semua garis hubungannya dengan kelompok Jusuf Kalla. Malah, temanku juga harus siap membocorkan apa rencana Jusuf Kalla. Belakangan, Aksa mengucurkan dana Rp 20 juta sebagai dana awal. Peta politik dukungan kandidat kemudian berubah. Inilah dunia politik Indonesia yang penuh silang sengkarut dan adu siasat dalam politik kebudayaan yang nampak santun, namun sesungguhnya penuh dengan intrik. Temanku itu harus bekerja keras demi memastikan dukungan senior dan bantuan finansial.

Sekali lagi, saya tidak sedang emosi. Saya mengakui kalau di HMI ada banyak warna dan aliran politik. Tak hanya mereka yang jadi provokator dan melakukan demo bayaran, ada juga jalan aktivis yang senyap seperti yang dipilih oleh Nurcholish Madjid, maupun aktivis Munir. Namun, mereka yang senyap itu tidak pernah sesumbar meneriakkan posisinya sebagai kader HMI. Mereka yang jauh dari hiruk-pikuk politik itu lebih memilih jalan yang sunyi yang jauh dari deru kekuasaan negeri ini. Sepertinya, warga HMI sudah mulai jauh dengan spirit kebangsaan dan kerakyatan yang semestinya mereka kobarkan. Mereka tak lagi bergetar mendengar tangis lirih orang kebanyakan. Mereka sudah keenakan dengan teduhnya beringin kekuasaan. Mereka sudah kehilangan visi besar untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, sebagaimana tujuan HMI yaitu “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang berlandaskan Islam serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”. Yah, tujuan itu didengungkan oleh setiap warga HMI dalam semua acara, mulai dari basic training, hingga acara lainnya. Tujuan itu tidak lebih dari tujuan yang tercantum dalam anggaran organisasi, menjelma menjadi visi yang kaku, tanpa ikhtiar luar biasa untuk mempraksiskannya pada dunia realitas. Tanpa ikhtiar untuk menjadi rasul dan mewujudkan kerajaan Tuhan di muka bumi. Pantas saja jika beberapa tahun sebelum meninggal, Nurcholish Madjid sempat berujar, “Sudah saatnya HMI dibubarkan.” Kayaknya, saya sepakat dengan itu. Tak cuma dulu, bahkan sampai sekarang saya masih sepakat.(*)


Telaga Safar, Makassar, 29 Juli 2008
Saat lagi ngobrol lucu-lucu sama Dwi

Kujejakkan Kaki di Kota Makassar


SETELAH malang-melintang di Jakarta selama hampir tiga minggu, hariini saya sudah berada di Kota Makassar. Dua hari lalu (Kamis,24 Juli 2008 malam), saya berangkat dengan menggunakan pesawat Lion Air. Perjalanan itu sangatlah melelahkan, namun saya tidak terlalu lelah sebab tertidur di sepanjang perjalanan. Pesawat tiba di Makassar, tepat pukul tiga subuh. Terpaksa,saya membayar ojek dengan harga yang cukup mahal dibanding harga biasanya. Tapi tak apa.

Saya memang selalu rindu dengan kota ini. Selalu saja ada energi dan daya yang seakan membiusku dan menjerat langkahku untuk selalu singgah ke koya ini. Kota ini telah mengajariku banyak hal. Di kota ini ada banyak manusia yang mencintaiku dengan sepenuh hati. Makanya, saya selalu tak tahan jika meninggalkan kota ini dalam waktu lama. Mungkin kelak, saya harus menulis sebuah memoar atau kenanganku atas kota ini. Mudah-mudahan bisa diwujudkan.(*)


Sabtu,26 Juli 2008
Pukul 19.30 wita


Asyiknya, Bersepeda di Kampus UI

ADA sesuatu yang berbeda di kampus Universitas Indonesia (UI). Selama dua bulan tidak masuk UI, saya menemukan ada hal baru di kampus itu. Saat ini, pihak kampus menyediakan layanan sepeda bagi mahasiswa di halte-halte yang ada di depan semua fakultas. Mahasiswa yang hendak menggunakan sepeda itu, cukup memperlihatkan kartu mahasiswa dan selanjutnya ia bebas mengendarai sepeda di jalur khusus sepeda yang mengelilingi semua tempat di kampus UI. Ketika seorang mahasiswa hendak singgah di satu fakultas, maka mahasiswa itu cukup mengembalikan sepeda di halte sepeda yang disediakan di depan semua fakultas. Betapa menyenangkannya kebijakan ini.

Bagi saya, hal ini adalah hal yang unik dan mengesankan. Kadang, saya hendak protes, kenapa selama saya kost di sekitar kampus yaitu di kawasan Kukusan, kebijakan ini belum ada. Padahal, andaikan kebijakan itu sudah ada, maka sayaakan jadi pelanggan abadi dari sepeda itu. Apalagi, sepeda itu cukup keren penampilannya. Berwarna kuning, serta ada merk Polygon dan logo UI. Sepeda ini juga dilengkapi beberapa gir, sebagaimana layaknya sepeda gunung sehingga ketika seseorang kelelahan,maka ia bisa ganti gigi sehingga lebih ringan.

Betapa menyenangkannya bersepedadi kampus UI yang punya banyak pohon serta danau-danauindah. Pantas saja jika novelis Andrea Hirata mengisahkan betapa sejuknya ketika bersepeda di kampus UI. Menurut seorang teman, dulunya sepeda adalah transportasi utama di Depok. Pada zaman Belanda, sepeda menjadi transportasi yang digratiskan di Kota Bogor dan Depok. Maksudnya, pemerintah menyiapkan banyak sepeda di beberapa tempat khusus di jalan raya. Persis seperti dikampus UI.

Siapapun warga yang hendak menggunakan sepeda, tinggal memakainya saja dan nanti diletakkan lagi pada tempat parkir di tempat khusus di jalan raya. Saat itu, tak ada pencuri sepeda, sebab sepeda adalah barang langka, sehingga jika dicuri, pasti akan ketahuan. Terkhusus kampus UI, tak mungkin ada pencurian sepeda, sebab mahasiswa yang memakainya akan dicatat nama serta stambuknya. Ketika ada sepedayang tidak kembali, maka pastilah akan ketahuan dan mahasiswa itu terancam tak bisa menyelesaikan studinya. Ah, kenapa tidak dari dulu yaaa.....(*)


Dua Tahun, Gedung DPR Banyak Berubah


HARI ini saya berkunjung ke Gedung DPR RI. Mestinya, temanku Dambo yang datang memenuhi undangan dari seorang anggota DPR, namun karena ia terlambat bangun, terpaksa saya yang datang menggantikannya. Maklumlah, saya dan Dambo berada dalam satu tim penyusunan buku. Sejak kuliah di Universitas Indonesia (UI), ini adalah kunjunganku yang pertama kalinya.

Terakhir saya berada di gedung ini sekitar dua tahun yang lalu, sewaktu masih tercatat sebagai wartawan kemudian staf ahli yang berseliweran di gedung dengan kubah hijau itu. Dalam rentang waktu dua tahun itu, ada perubahan yang cukup mencolok di gedung ini. Perubahan itu adalah kian banyaknya satuan keamanan atau satpam yang berjaga. Dulunya, pakaian satpam di gedung ini berupa pakaian safari berwarna agak gelap dengan pin khusus. Pernah sekali waktu, mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto datang memenuhi undangan diskusi. Ia mengenakan baju yang sama persis dengan baju satuan pengamanan di gedung itu. Wiranto sempat berseloroh, “Untunglah orang-orang di sini cukup mengenal saya. Sebab baju saya sama persis dengan baju satpam.” Semua orang yang mendengarnya langsung tertawa.

Dulunya, satuan pengamanan itu rata-rata adalah laki-laki dengan mengenakan baju safari dan pin khusus. Kini, banyak perempuan yang menjadi satpam dengan pakaian yang agak berbeda dengan satpam yang ada di luar. Mereka mengenakan pakaian berwarna biru dengan desain yang menarik. Saya melihat banyak satpam perempuan yang cantik-cantik. Pantas saja, temanku wartawan Kompas, Aco, berseloroh, “Sekarang sudah beda dengan dulu. Untungnya saya sudah menikah. Kalau tidak, saya bisa jatuh cinta setiap hari.” Hehehehe. Bisa saja dia.

Saat masuk ke gedung ini, saya mengenakan baju batik yang rapi serta ada identitas sebagai staf ahli. Makanya, ketika masuk kompleks gedung, banyak penjaga yang menghormat kepadaku. Saya sih asyik saja menerima pengormatan itu. Untuk sesaat saya merasa sebagai pejabat negara. Tempat pertama yang kukunjungi adalah press room atau tempat mangkal wartawan yang meliput di gedung ini. Dulunya, saya selalu nongkrong di tempat ini dan menikmati fasilitas telepon serta internet gratis. Di sini juga banyak sahabatku. Sayangnya, saat singgah di situ, tidak banyak wajah yang kukenal. Kata Aco, kebanyakan wartawan hanya bertugas selama enam bulan, dan setelah itu dipindahkan lagi ke tempat lain. Yah, pemindahan posko seperti ini adalah hal biasa di dunia jurnalistik. Bahaya juga bila wartawan terlalu lama di satu tempat. Selain bisa jenuh dan insting jurnalismenya kian lamban, ia bisa terlibat dalam praktik percaloan di instansi tempatnya posko dalam waktu yang lama.

Press room DPR terletak di lantai 1 Gedung Nusantara III. Saat memasuki press room, sedang digelar acara jumpa pers dan menghadirkan Ketua PKB Muhaimin Iskandar. Saya sempat singgah berjabat tangan dengan Muhaimin dan sejumlah stafnya. Ada beberapa orang yang stafnya yang masih mengenaliku saat menjadi wartawan. Saat itu, Muhaimin membawa nasi tumpeng dan mengajak wartawan makan bersama, merayakan kemenangan PKB versinya dalam pengadilan atas PKB versi Gus Dur. Saya tak terlalu tertarik mengikuti acara tersebut. Saya langsung ngeloyor pergi.

Selanjutnya adalah saya mengunjungi ruangan anggota Fraksi PAN DPR RI yaitu Arbab Paproeka. Kebetulan, staf ahlinya yang bernama Fiar adalah sahabatku saat masih kuliah di Unhas. Fiar meneleponku dan memintaku segera ke lantai 19 di ruangan Pak Arbab. Saya langsung menuju lift dan ke ruangan itu. Saya melihat bahwa penjagaan di DPR ini lebih ketat dibandingkan dua tahun lalu saat saya masih berkeliaran di gedung ini. Hampir di sepanjang lantai, ada staf keamanan yang berjaga dan menanyakan identitas tatkala hendak singgah ke lantai itu. Untunglah, mereka tidak menahanku karena kartu identitas sebagai staf ahli.

Saat tiba di ruangan Arbab, saya bertemu dengan seorang sekretaris cantik yang kemudian menyuruhku menunggu. Sekretaris tersebut hanya mengenakan rok selutut sehingga nampak kakinya yang putih bersih. Saat itu, saya sempat duduk dan berbincang dengannya. Saya berpikir, barangkali isu banyaknya kasus pelecehan seksual di gedung ini bisa terjadi karena banyaknya gadis cantik yang bekerja di sini. Sementara anggota DPR hidup bergelimang duit yang banyak, dan setiap hari masuk ruangan kemudian bertemu sekretaris cantik. Sebagai lelaki normal, pantas saja mereka gampang berubah jadi nafsu. Saya tak bermaksud menuduh kaum perempuan sebagai pemantik nafsu. Sama sekali tidak. Ini cuma dugaan sementara saja di saat itu.

Lama menunggu, temanku Fiar mengajakku singgah ke kafe di lantai 1. Ada dua kafe atau tempat makan di gedung ini. Yang pertama terletak di lantai 1 Gedung Nusantara 1 dan disebut Kafetaria Nusantara. Sedangkan satunya lagi adalah Pujasera, yang terletak di luar bangunan DPR, tak jauh dari masjid DPR.

Namun, kebanyakan anggota dewan lebih suka nongkrong di Kafetaria Nusantara. Tempatnya cukup mewah dan makanannya agak mahal. Makanya, para anggota dewan banyak yang singgah makan di situ. Saya dan teman-teman wartawan lebih suka menyebut kafe itu sebagai kafe calo sebab hampir tiap saat banyak anggota DPR yang duduk-duduk di situ bersama gubernur atau bupati. Saya mendapat banyak info bahwa praktik percaloan yang dilakukan anggota DPR bersama para gubernur banyak dibahas di kafe itu. Biasanya, mereka berkongkalikong untuk menaikkan anggaran DAU atau DAK daerah. Mereka juga membahas bagaimana cara menaikkan anggaran dinas atau departemen di daerah. Belakangan ini, kata beberapa teman wartawan, praktik percaloan itu tidak lagi di kafe itu. Banyak yang pindah ke hotel mewah yang tak jauh dari DPR, misalnya Plaza Senayan, Hotel Mulia, Hotel Sulthan, atau Hotel Ritz Carlton (tempat Al Amin tertangkap bersama Sekda Bintan).(*)

Jakarta, 21 Juli 2008
Pukul 19.00 wib


Mengapa Kita Tidak Punya Mandela?


HARI ini adalah hari ulang tahun ke-90 mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Lelaki berkulit hitam yang menjadi bapak bagi bangsa Afrika Selatan telah menorehkan guratan kesan yang dalam bagi seluruh bangsa-bangsa dunia. Namanya begitu harum dan dicintai semua rakyat karena rasa cintanya yang dalam kepada seluruh manusia, apapun rasnya. Ia tak punya sedikitpun rasa dendam dalam hatinya, sehingga ketika menjalani masa penjara dan siksaan menyedihkan selama 27 tahun, ia tak menaruh sedikitpun dendam.

Di saat bebas dan jadi presiden, Putra Xhosa --Ketua Suku Thembu--, memaafkan semua penyiksanya. Ia memaafkan rezim yang kejam. Ia menawarkan pengampunan dan kerjasama di bawah panji bangsa Afrika. Ia adalah manusia besar (the great man) yang pernah lahir dalam sejarah manusia. Ia telah menjungkirbalikkan semua teori dan analisis filosof dan antropolog seperti Sartre, Hobbes yang mengatakan bahwa manusia jahat dan pendendam. Buktinya, rasa maaf yang luar biasa besar telah tumbuh di hatinya dan dipetiknya satu per satu untuk dibagikan kepada semua bangsa Afrika.

Saya pernah sekali membaca otobiografinya. Seperti halnya Antonio Gramsci dengan karyanya Prisoner Notebook, Tan Malaka dengan Madilog, atau Pramoedya dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mandela juga menulis catatan harian dengan kalimat yang tajam bagai pedang dari penjara. Buku yang kemudian berjudul Long Walk to Freedom itu tak hanya menjadi sedu-sedannya yang pilu, namun berisikan visinya yang menyala-nyala tentang hari esok yang dibayangkannya.

Episode paling menyentuh dalam hidupnya adalah ketika seorang pegawai penjara mendapat tugas untuk menanam tubuhnya hingga dada (dirajam), kemudian mengencingi kepalanya. Itu dilakukan setiap hari. Bayangkan, selama 27 tahun ia harus rela dikencingi sekaligus kehilangan kehilangan semua kehormatan dan haknya sebagai manusia yang berjalan di muka bumi. Dia tidak punya hak asasi dan hanya bisa diam saja mendapat kehinaan seperti itu.

Hingga suatu hari, ia bebas dan terpilih sebagai presiden kulit hitam yang pertama. Apa yang pertamakali dilakukannya? Ia mencari pegawai itu ke seluruh penjuru Afrika. Apakah ia akan membalas dendam? Tidak. Ia memeluk lelaki tersebut kemudian bercucuran air mata. Mandela berbisik ke telinganya bahwa inilah saat untuk melupakan semua dendam dan permusuhan. Inilah saat untuk berbagi hati dan saling memaafkan, kemudian bersama-sama membangun bangsa Afrika yang lama terkoyak oleh konflik dan perang saudara.

Apakah Mandela seorang Rasul? Mungkin. Rasa welas asih serta maaf yang seperti itu hanya dimiliki oleh para Rasul yang berjalan di muka bumi di abad pertengahan silam. Barangkali hanya Bunda Theresa serta Gandhi yang punya rasa sedalam itu. Mereka semua adalah manusia abad 21 yang berjalan dengan lebih jauh dari pencapaian manusia suci lainnya. Jika banyak manusia suci yang memilih jalan asketis atau menjauhi pusaran politik, maka Mandela justru menceburkan diri ke dalam pusaran politik. Ia masuk ke jantung sistem politik dan menunjukkan bagaimana seharusnya politik didasarkan atas dasar karakter, integritas dan rasa cinta yang demikian dalam. Tak salah jika Mandela adalah prasasti hidup yang abadi dalam sejarah peradaban manusia.

Yang juga mencengangkan adalah Mandela hanya mau memimpin Afrika untuk satu periode. Selanjutnya, ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Thabo Mbeki. Mandela hendak mengatakan bahwa ambisi meraih kuasa adalah banteng liar yang bisa menyeruduk ke mana-mana. Dia hanya mau menunjukkan arah, seberkas cahaya yang memercik di ufuk sana, dan ke situlah bangsa hendak dituju. Dia membangun blue print pembangunan sehingga siapapun presidennya, akan sanggup membawa kejayaan bagi negeri tersebut.

Setiap melihat Mandela, saya selalu iri. Kenapa ia tidak lahir di negeri ini? Kenapa tak satupun calon pemimpin bangsa ini yang menunjukkan dedikasi serta integritas yang luar biasa dan laku asketis demi memikirkan bangsa. Soekarno muda punya integritas itu. Sayangnya, di masa tuanya ia terjebak dalam pragmatisme politik dan otoritarianisme baru yang hirau dengan derita rakyat kebanyakan. Hatta juga punya ketulusan itu. Sayangnya, ia tak mampu menjadi sisi lain dari lingkar dialektisnya dengan Soekarno. Ia memilih kalah sebab sepanjang hidupnya, ia selalu berada pada dilema antara sufistik dan politik empirikal. Hatta memilih jalan sufistik sekaligus pintu keluarnya dari zaman yang carut-marut.

Namun, setidaknya mereka punya integritas itu. Namun, apakah kita punya sosok seperti itu di era kekinian? Saya ragu jika melihat stok pemimpin yang ada. Hampir semua stok pemimoin adalah orang-orang kaya yang tak terbiasa antri minyak tanah bersama rakyat. Para penguasa dan politikus yang berpikir untuk menjaga jaringan kuasanya. Untuk memperbanyak hartanya sendiri. Pantas saja jika kita selalu rindu dengan Mandela.(*)


Jakarta, 18 Juli 2008,
Pukul 05.40 WIB


Mudahnya Mengurus ISBN

TERNYATA mengurus ISBN (International Serial Book Number) sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan. ISBN adalah nomor seri yang diberikan oleh Perpustakaan Nasional sebagai bentuk pencatatan atas buku baru yang hendak diterbitkan. Dulunya, saya mengira penerbitan buku dengan ISBN ini sangat susah. Namun setelah menjalaninya, ternyata tidak sulit.

Kita cukup membawa sampel atau dummy buku ke Perpustakaaan nasional. Selanjutnya mengisi formulir yang disediakan dan mendapatkan nomor ISBN. Prosesnya sangat mudah dan hanya menelan waktu sekitar satu jam. Tidak lebih. Setelah itu, kita akan diberikan nomor serta tanda yang bisa dibaca komputer. Mudah khan?


Lagu Gaby dan Fenomena Masyarakat Desas-Desus

AKHIRNYA kontroversi lagu berjudul “Jauh” yang dinyanyikan oleh Gaby berakhir sudah. Ternyata lagu itu adalah milik band Caramel asal Kota Makassar. Sementara mistik, horor, serta cerita seram yang mengiringi kehadiran lagu itu adalah isapan jempol belaka. Bahkan penyanyi lagu itu yang dikabarkan tewas bunuh diri, ternyata masih segar bugar dan tampil di hadapan semua pemirsa televisi.

Seingatku, lagu ini diklaim oleh tiga band dari kota berbeda. Selain Caramel dari Makassar, lagu ini juga diklaim band Caramel asal Kota Surabaya, dan satu band lagi asal Kota Depok. Masing-masing mengklaim setelah sebelumnya lagu itu hadir di internet melalui satu situs musik. Tanpa identitas yang jelas, lagu itu langsung diklaim banyak orang dan kemudian bermunculanlah berbagai cerita mistik.

Publik seketika heboh. Semua penasaran siapa yang sesungguhnya pemilik asli lagu ini. Bahkan, banyak penyanyi yang mengklaim bahwa suara yang menyanyikan lagu itu di internet adalah suaranya sendiri. Kemudian, di internet bertaburan pula berbagai cerita gosip tentang tewasnya sang penyanyi karena bunuh diri setelah kekasihnya pergi entah ke mana. Banyak penyanyi yang mengaku dihantui ketika menyanyikan lagu itu. Hampir setiap hari, tayangan berita infotainment menampilkan cerita lagu ini disertai wawancara dengan banyak pihak. Bahkan, ditampilkan pula kesaksian dari paranormal serta banyak dukun atau “orang pintar” yang mengklaim telah berbincang dengan ruh gadis yang tewas tersebut.

Ternyata, semua itu hanyalah isapan jempol semata. Kemarin, penyanyi lagu itu Gaby –yang ternyata bernama Abe— serta pengarang lagu Pay, menggelar jumpa pers bersama pakar telematika Roy Suryo dan memastikan bahwa lagu itu memang dinyanyikan oleh Abe. Teknologi telekomunikasi sanggup mendeteksi suara seseorang yang tampil di format audio, kemudian menentukan siapa sesungguhnya yang memiliki suara identik dengan itu. Artinya, meskipun ada tiga yang mengkalim sebagai penyanyinya, namun hanya ada satu yang berkata benar. Teknologi sanggup memastikan itu.

Saya mencatat ada tiga fenomena menarik seputar lagu ini yang menarik untuk dibahas. Pertama, jauhnya Kota Makassar dari pusat gosip telah meminggirkan wacana Abe dan Pay (keduanya adalah mahasiswa STMIK Dipanegara) sebagai pemilik asli lagu ini. Meskipun mereka punya bukti kuat, namun orang seakan tidak perduli dengan itu dan terus mengembangkan beragam spekulasi. Kota Makassar memang sangat jauh dari pusat gosip infotainment. Makanya, dalam semua liputan tentang lagu ini, Pay dan Abe jarang sekali diwawancarai sehingga kebenaran versi mereka menajdi senyap oleh kontroversi dan pengakuan berlebihan dari band atau penyanyi lainnya.

Yang paling sering dibicarakan adalah band Caramel asal Surabaya. Mereka mengklaim lagu itu diciptakan oleh Gaby, seorang gadis asal Malang yang kemudian bunuh diri. Setiap kali diwawancarai, mereka sangat yakin kalau itu adalah lagu ciptaannya. Tak hanya itu, meskipun lagu itumasih kontroversial, mereka berani membuat videoklip dan menyanyikan lagu itu secara terbuka. Jika kita iseng mengetikkan lagu “jauh” dan “gaby” di google, maka muncullah rratusan artikel yang kebanyakan ddominasi oleh versi mereka. Sementara band asal makassar seakan tak berdaya menghadapi luapan informasi yang tak berpihak pada mereka. Untunglah Pay dan Abe (kata temanku, nama aslinya adalah Andi Besse) tidak kehilangan akal. Mereka mendatangi Jakarta dan menemui Roy Suryo agar bisa dipastikan bahwa yang menyanyikan lagu itu di internet adalah mereka. Kebenaran itu kemudian terkuak. Menurutku, fenomena ini menjelaskan bahwa dalam skala gosip dan rumor, seakan ada daerah yang kemudian menjadi sentrum (pusat) dan ada daerah yang menjadi periferi (pinggiran). Daerah yang menjadi pusat itu adalah daerah yang di dalamnya banyak industri media massa yang mereproduksi kenyataan baru. Pada daerah itulah, wacana diproduksi kemudian dikendalikan, sehingga mensenyapkan pemilik wacana sesungguhnya yang berada di pinggiran. Inilah fenomena pertama yang kucatat.

Kedua, teknologi internet telah menghadirkan satu ruang virtual di mana antara fakta dan fiksi menjadi sukar dibedakan. Teknologi internet telah memutus batas pembeda antar masyarakat sehingga isu yang ada pada satu wilayah, bisa dengan gampangnya dicaplok oleh seseorang pada wilayah lain. Masyarakat kita bergeser ke era internet di mana sesuatu dengan gampang dimanipulasi, tanpa identitas yang jelas. Fenomena ini sudah dicatat para pemikir sosial pada era 1960-an. Di kalangan ilmuwan komunikasi, banyak teori yang bisa menjelaskan tentang dampak media massa, misalnya dari McComb, Rogers, ataupun Schramm. Mereka sudah memprediksi bahwa di tengah kepungan informasi di era ini, maka masyarakat bisa semaput (pingsan) dan susah membedakan mana fiksi dan mana realitas. Di saat menyaksikan film Titanic, hampir semua orang menangis tersedu-sedu, sementara di saat melihat korban tsunami Aceh, tak satupun bulir air mata menetes. Kita dengan gampangnya terseret dalam logika media sehingga kehilangan lensa dalam membedakan mana yang real. Itulah dampak media.

Ketiga, masyarakat kita memang masyarakat yang sangat suka dengan desas-desus. Masyarakat kita adalah masyarakat yang paling mudah percaya dengan klenik. Meskipun kata sosiolog Augusto Compte, kita telah memasuki era digital atau era penaklukan nalar atas mitos dan agama, namun dalam hal tertentu, peta kognitif masyarakat kita masih saja dipandu oleh mitos. Makanya, di era digital seperti ini, dukun dan paranormal masih menjadi sentrum kebenaran. Kebenaran adalah sesuatu yang lahir dari tindakan merapal mantra, mengklaim bertemu dengan arwah, ataupun membakar kemenyan sambil memejamkan mata dan sesaat kemudian tersadarkan diri dan mengaku mendapatkan wangsit. Perjalanan masyarakat kita ke arah rasionalitas seakan tidak sampai-sampai ketika mitos dan klenik masih bercampur baur. Barangkali inilah uniknya masyarakat kita. Dalam hal tertentu rasional, namun dalam banyak hal lain masih setia dengan klenik alias ramalan-ramalan.

Sebenarnya, situasi ini sangat menguntungkan mereka yang berprofesi sebagai dukun atau paranormal. Jika dulunya mereka identik dengan tradisionalitas, kini mereka hadir dengan kemasan modern. Kliennya mulai dari artis sampai pejabat. Bisnisnya tak cuma meneropong secara spiritual seseorang di alam arwah, namun juga menyewakan jin, tuyul, serta setan yang bisa menjagai seseorang ketika tidur agar hartanya aman. Ini adalah tanda bahwa masyarakat kita mulai sakit dan selalu didera rasa cemas. Ini gejala skizofrenia yang kian parah di era milenium. Fenomena lagu “Gaby” ini adalah cerminan dari realitas wajah masyarakat kita yang sesungguhnya. Masyarakat yang mudah dihajar oleh sensasi dan fiksi yang melimpah-ruah.(*)


Diundang ke Apartemen Casablanca

HARI ini saya diajak teman ke Apartemen Puri Casablanca. Saat memasuki bangunan apartemen, saya langsung terpengarah. Serasa memasuki dunia lain dengan dinamika yang berbeda. Apartemen ini seperti rerimbunan gedung tinggi yang terletak di Jalan Casablanca. Ada sekitar empat bangunan tinggi yang berdekatan hingga nampak seperti kumpulan gedung yang tertata rapi dan mengelilingi area publik seperti kolam renang, lapangan glof, area bermain, olahraga serta jalan kaki. Bangunan-bangunan di situ nampak sangat mewah dan eksklusif, yang untuk memasukinya kita harus melewati dua lapis security yang memeriksa semua kendaraan masuk hingga ke dasarnya. Masyarakat kota memang selalu membangun tembok-tembok ketakutan. Sebuah kawasan eksklusif adalah kawasan steril yang hidup lepas dari dunia sosial. Interaksi tidak berjalan karena warga apartemen harus jauh dari dunia sosial.

Saya merasa seakan memasuki dunia yang berbeda. Serasa hotel, namun ini adalah kompleks tinggal. Bagaimanakah perasaan mereka tinggal di bangunan yang sesungguhnya terisolasi seperti ini? Apakah mereka stress? Saya bertanya dalam hati. Saya lalu singgah ke Gedung C. Memasuki lobi gedung, saya disapa seorang gadis cantik yang kemudian bertanya hendak menemui siapa. Meskipun saya menjelaskan bahwa kedatanganku sudah ditunggu, namun sang gadis tidak terlalu memperhatikan keteranganku. Ia lalu menelepon wanita yang hendak kutemui. Ketika wanita yang diteleponnya mengiyakan kedatanganku, gadis cantik tersebut menyilahkanku untuk naik. Saya selalu berpikir, inikah dunia yang asosial?

Nantilah saya lanjutkasn cerita ini…..

Film Hulk dan Neraka Sains Modern



Don’t make me angry. U will sorry……. (Hulk)


HULK adalah raksasa hijau yang kesepian. Dia selalu sendirian ketika menjadi sasaran serbuan militer Amerika Serikat (AS). Hampir setiap saat, militer berupaya membunuhnya dengan beragam cara, baik dibom, ditembak, hingga dihujani rudal dari udara. Tetapi Hulk selalu berusaha lari dan lari. Ia memang membunuh militer, namun semua itu dilakukannya demi menyelamatkan diri dari hujan peluru yang diarahkan kepadanya.

Apakah ia menakutkan? Mungkin. Namun saya lebih sepakat jika ia yang sesungguhnya berada dalam iklim ketakutan. Orang di sekitarnyalah yang sesungguhnya seram. Saat berteriak, ia tidak sedang mengancam. Ia hanya melepaskan rasa takutnya kepada sekeliling. Seperti halnya seekor gorila yang berteriak ketika terancam, Hulk seakan mendendangkan keyakinan purba bahwa manusia juga bisa berteriak di saat nyawanya dalam bahaya. Untuk itu, manusia akan mengeluarkan semua daya dan pertahanan terbaik pada dirinya.

Film The Incredible Hulk yang diperankan Edward Norton dan Liv Tyler itu kusaksikan dengan perasaan berdebar. Karakter tokoh komik ciptaan Stan Lee dari Marvel itu disajikan dengan visualisasi yang memukau. Rasa terpengarah dan sedih beraduk menjadi satu dalam diriku saat menyaksikan film ini di Mal Atrium, Senen, Jakarta, Minggu (6/10). Saya membayangkan betapa sedihnya menjadi ilmuwan biologi molekuler Dr Bruce Banner. Ia tak bisa lagi menenggelamkan diri dalam dunia ilmu sebagaimana profesinya sebagai peneliti dan pengajar. Ketika menjadi kelinci percobaan dari proyek yang dijalankan militer, tubuhnya tercemar oleh radiasi gamma hingga bisa menjelma jadi sosok monster hijau ketika marah. Militer gelisah dan tak mau proyek ambisius itu diketahui orang banyak. Ditambah dengan ambisi sejumlah jenderal yang tak mau kariernya kandas kalau proyek “Hulk” ini terungkap. Maka hampir setiap saat Bruce dicari-cari, kemudian diserang hingga kemarahannya memuncak. Militer juga hendak mengambil sampel darahnya untuk dijadikan senjata biologis baru demi mencetak prajurit hebat yang perkasa. Tapi Bruce bukanlah militer. Ia adalah ilmuwan yang menolak dirinya dijadikan alat pemusnah massal. Kesadaran sebagai ilmuwan dan kecintaan pada manusia telah menjadikannya sebagai sasaran pengejaran militer.

Mulailah ia menjalani hari-hari yang sulit. Di saat terdesak dan emosinya memuncak, ia akan menjadi raksasa hijau. Kesadarannya hanya satu yaitu bagaimana bisa melepaskan diri dari situasi yang tidak mengenakkannya. Tubuhnya memang besar. Namun apalah dayanya jika setiap saat terus dihujani dengan senjata canggih. Hidupnya bagai seorang pesakitan yang terus dikejar-kejar.

Sewaktu saya masih kecil, kisah Hulk hampir tiap minggu saya saksikan di televisi. Saat itu, saya tidak paham apa yang sesungguhnya menjadi sebab sehingga ia bisa bertransformasi menjadi raksasa hijau dan kemudian dikejar-kejar. Sebagai anak kecil, saya kadang ragu apakah Hulk seorang hero ataukah penjahat. Jika ia hero, maka kenapa ia harus dikejar setiap saat? Bukankah ia akan membawa kedamaian bagi seluruh alam semesta dan melindungi semua umat manusia? Saya kerap menanyakan itu dan tidak mendapatkan jawaban yang memadai. Dulunya, saya juga bingung kenapa dirinya harus dikejar-kejar. Apakah ia jahat?

Saya tak sempat menanyakan itu. Seperti halnya semua orang yang menyaksikan itu, saya ikut bersorak ketika melihat dirinya yang pontang-panting berusaha menyelematkan diri. Saya ikut berdecak kagum saat menyaksikan aksi-aksinya yang merobek-robek kendaraan lapis baja, membengkokkan senjata besi, hingga menghancurkan gedung dengan sekali tinju. Namun, menyaksikan film The Incredible Hulk itu membuat saya kembali menyaksikan sosok raksasa hijau ini dengan cara yang berbeda. Dalam tubuh yang perkasa itu, sesungguhnya terdapat jiwa yang selalu didera rasa sedih. Keperkasaan Hulk hanyalah sisi lain dari kesedihan dan kesendiriannya dalam menapaki hidup. Ia hidup dalam pelarian, yang ketika persembunyiannya diketahui, maka berdatanganlah militer untuk berupaya membunuhnya.

Kesedihan Hulk adalah kesedihan yang tak terpermanai. Ia adalah dampak dari sains modern yang selalu abai membaca keakanan dari tindakan hari ini. Hulk adalah efek dari keserakahan dan ambisi manusia untuk menguasai dan menaklukan sesamanya. Kegandrungan bangsa-bangsa akan kejayaan dan kuasa, menyebabkan mereka berlomba-lomba menciptakan senjata pemunah massal sehingga bisa mencatatkan dirinya sebagai bangsa nomor satu. Sains modern lahir sebagai abdi setia keserakahan manusia demi menaklukan semesta dan menancapkan kuasa. Sains modern tidak menjadi abdi yang setia dan mengabdi pada kemanusiaan. Sains modern menjadi neraka bagi manusia lainnya. Gumaman Bapak Sains Modern, Rene Descartes, yang berbunyi Cogito Ergo Sum (aku ada karena aku berpikir) menjadi awal dari neraka bagi manusia yang tidak mengeuasai sains. Kembali pada film Hulk, teriakan Hulk menjadi nyanyi sedih dan sunyi terhadap keangkuhan manusia.

Teringat Frankenstein

Menyaksikan Hulk, saya seakan menyaksikan kisah Frankenstein, sosok monster yang lahir dari novelis Inggris, Mary Shelley, pada tahun 1818. Meski sama bertubuh besar dan raksasa, namun kesedihan Hulk tak seberapa jika dibandingkan kesedihan Frankenstein. Terlahir dari percobaan sains dari ilmuwan eksentrik bernama Victor Frankenstein, monster yang diberi nama sama dengan penciptanya itu kemudian tidak diakui sebagai mahluk yang berjalan di atas bumi. Monster Frankenstein tercipta dalam percobaan atau ketidakterdugaan. Sang ilmuwan hanya ingin membuktikan tesisnya bahwa mahluk hidup bisa tercipta ketika cabikan daging busuk yang dirangkai menjadi mahluk dan kemudian dialiri listrik. Ketika mahluk itu benar-benar lahir, mahluk itu kemudian bertanya ke sekelilingnya: siapa dirinya dan untuk apa ia diciptakan.

Sayang sekali, tak ada yang mau memberikan jawaban. Tubuh busuk itu langsung dicap sebagai monster, meskipun sang monster tak paham apa makna monster. Ia hanya bertanya siapa dirinya dan untuk apa diciptakan. Ia sedih ketika hinaan dan cacian ditujukan kepadanya. Tentang penciptaan dan penciptaan dirinya, Sang Monster yang antara lain membaca Goethe dan Milton itu, memang tak tahu apa-apa. Tetapi, ia tahu bahwa ia tak berteman, tanpa hak milik, bahkan tanpa sepotong nama. Ia hanyalah sebentuk makhluk dengan sosok rusak yang memuakkan. Ia bukan makhluk yang serupa manusia. "Tak ada yang kulihat dan kudengar makhluk yang serupa aku. Apakah aku seekor monster, najis di muka bumi, yang membuat semua orang lari menjauh, makhluk yang ditampik dengan muak oleh semua umat?."

Bagai Adam ketika pertama kali diciptakan, si monster tak punya kaitan apa pun dengan segenap ciptaan yang ada. Ia sungguh makhluk yang sama sekali lain. Tetapi, keadaan Adam sangat jauh berbeda dengan sang Monster dalam semua aspek lainnya. Adam lahir dari tangan Tuhan sebagai makhluk sempurna, bahagia dan sejahtera, dengan hak yang nyaris tak terbatas atas apa saja di Taman Firdaus. Sementara sang monster tercipta sebagai makhluk celaka, menderita, dan benar-benar penjelmaan segala yang busuk.

Tentang penciptaan dan penciptaan dirinya, Sang Monster yang antara lain membaca Goethe dan Milton itu, memang tak tahu apa-apa. Tetapi, ia tahu bahwa ia tak berteman, tanpa hak milik, bahkan tanpa sepotong nama. Ia hanyalah sebentuk makhluk dengan sosok rusak yang memuakkan. Ia bukan makhluk yang serupa manusia. "Tak ada yang kulihat dan kudengar makhluk yang serupa aku. Apakah aku seekor monster, najis di muka bumi, yang membuat semua orang lari menjauh, makhluk yang ditampik dengan muak oleh semua umat?."

Bagai Adam ketika pertama kali diciptakan, si monster tak punya kaitan apa pun dengan segenap ciptaan yang ada. Ia sungguh makhluk yang sama sekali lain. Tetapi, keadaan Adam sangat jauh berbeda dengan sang Monster dalam semua aspek lainnya. Adam lahir dari tangan Tuhan sebagai makhluk sempurna, bahagia dan sejahtera, dengan hak yang nyaris tak terbatas atas apa saja di Taman Firdaus. Sementara sang monster tercipta sebagai makhluk celaka, menderita, dan benar-benar penjelmaan segala yang busuk.

Kurang lebih seribu tahun yang silam, penyair sufi Abul Majid Majdud Sanai dan Husain ibnu Mansyur Al-Hallaj menulis sajak-sajak tentang Sang Iblis yang mengeluh dipermainkan Tuhan. Iblis menjadi korban dari cinta dan tauhidnya pada Allah yang melemparkannya ke neraka. Monster Frankenstein juga menyatakan kesedihannya karena ditolak oleh penciptanya dan ditampik oleh masyarakat sekitarnya. Manusialah dengan segala prasangka piciknya, yang terus-menerus menyudutkan si makhluk hingga jadi monster. Kita bisa merasakan simpati pada monster buruk itu, ketika ia meminta kepada Victor, sang Bapak sekaligus penciptanya, agar diberi pasangan yang sama buruknya seperti dirinya. Mereka akan memencilkan diri ke tempat yang tak diperuntukkan bagi manusia.

Ketika Victor membatalkan penciptaan Hawa bagi si Adam yang mengerikan itu, si makhluk jadi-jadian dengan sengit membalas: untuk menularkan penderitaan yang dialaminya kepada penciptanya. Satu persatu orang-orang yang dicintai Victor mati dibunuh oleh si Monster. Victor pun menyiapkan pembalasan dan mengejar si monster sampai ke Kutub Utara yang tak pernah dijelajahi manusia. Ketika Victor akhirnya meninggal akibat perburuan itu, si monster juga bunuh diri dalam penyesalan yang tak tepermanai. Pergulatan simetri antara hak-hak sang makhluk dan kewajiban sang pencipta, berakhir sebagai saling ketergantungan mutlak antara keduanya, antara si makhluk dan si pencipta. Begitu mutlaknya hingga hanya kehancuran bersama yang mengakhirinya.

Frankenstein dan Hulk sama-sama mahluk yang kesepian dan terbuang dari dunia manusia yang mengklaim dirinya sebagai mahluk mulia. Pertanyaan yang berdenyut dalam diriku adalah adakah tempat bagi sisi lain di luar ego dan keangkuhan kita sebagai manusia????


Jakarta 10 Juli 2008
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com

Hebat!!! Fikriyah Lulus Cumlaude


AKHIRNYA teka-teki siapa mahasiswa Pasca Antrop tahun 2006 yang duluan lulus, terjawab sudah. Sahabatku Siti Fikriyah Khuriyati menjadi yang pertama lulus setelah mempertahankan tesisnya yang berjudul Produksi Identitas Simbolik Parlemen Indonesia. Yang luar biasa, ia tidak sekedar lulus, ia berhasil lulus dengan nilai tertinggi yaitu cumlaude. Saya salut karena prestasi besar itu dicapai Fikri dalam situasi di mana ia tidak melalaikan aktivitasnya di bidang lain. Itulah hebatnya Fikriyah.

Kemarin, Rabu (9/7) pukul 08.00 WIB, saya memasuki kampus UI Depok untuk menyaksikan momentum yang sangat penting bagi Fikri. Sejak awal, saya memang tidak mau melewatkan momentum itu. Bersama beberapa teman yaitu Dyah dan Andi, saya sengaja hadir dan memasuki ruang sidang. Saya agak terlambat masuk karena sidang uji tesis itu sudah dimulai sekitar 15 menit. Di dalam ruangan, Fikri duduk di hadapan para penguji yaitu Iwan Tjitradjaja, Achmad Fedyani Saifuddin (Afid), hingga penguji dari sosiologi yaitu Hanneman. Mereka menyimak alunan presentasi Fikriyah yang menguraikan pendekatan penelitian serta beberapa kesimpulannya.

Seperti halnya Malinowski yang dikepung gairah saat menjelaskan temuannya di Pulau Trobriand, Fikriyah juga dikepung semangat yang sama. Sebagai etnografer, ia mencatat dengan tekun bagaimana anggota parlemen mempraktikkan berbagai simbol dan kapital demi menegaskan dominasinya. “Mereka menggunakan berbagai simbol itu sebagai daya-daya kuasa demi melancarkan proses dominasi terhadap kelas sosial lainnya,“ katanya.

Saya memperhatikan para penguji menyimak presentasi itu sambil memberikan catatan. Pak Iwan kelihatanhya baru mulai membaca tesis Fikri. Ia juga membaca buku Pierre Bourdieu yang judul Language and Symbolic Power. Apalagi, Fikri beberapa kali menyatakan bahwa kutipannya terhadap Bourdieu banyak mengacu pada buku tersebut. Sementara Afid hanya menyimak presentasi itu. Ia tak banyak mencatat, namun lebih banyak mendengarkan.

Usai presentasi, selanjutnya adalah tanggapan dari para penguji. Pada ujian kali ini, para penyaksi sidang (supporter) tak punya kesempatan untuk menanggapi materi tersebut. Penanggap hanyalah para penguji. Pak Hanneman memberikan apresiasi terhadap karya tersebut. “Saya sudah membaca dengan baik tulisan Fikriyah. Bahasanya sangat mengalir. Saya serasa membaca sebuah novel yang memikat,” kata Hanneman yang kian membuat perasaan Fikriyah sesaat membuncah. “Namun ada beberapa catatan yang hendak saya berikan. Jadi, jangan merasa di atas dulu,” lanjutnya sambil tersenyum.

Hanneman memberi masukan agar riset ini mencantumkan kalimat bahwa fenomena reproduksi simbolik ini tak hanya terjadi di gedung DPR, melainkan juga terjadi di arena sosial yang lain. Ia juga memberi catatan tentang representasi. Bahwa, tak semua anggota DPR berprilaku sama dengan itu. “Selain itu, realitas yang disaksikan tidaklah monolitik. Variasi dan keunikan itu sebaiknya juga dipaparkan,” katanya.

Usai memberikan komentar, Hanneman langsung meninggalkan sidang. Selanjutnya, Iwan Tjitradjaja yang memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis. Dalam beberapa sidang tesis atau disertasi yang kuikuti, Iwan selalu memandang tesis seperti pohon yang dibangun dengan kokoh mulai dari akar hingga pucuk. Ia akan memperhatikan pertanyaan penelitian (research question), kemudian memperhatikan bangunan argumen dan terakhir ia akan memperhatikan kesimpulan. “Saya lihat di pertanyaan penelitian, kamu hendak mempersoalkan identitas simbolik anggota dewan, namun pada bagian nrasi dan kesimpulan, kata identitas sama sekali tidak dicantumkan. Kamu lebih banyak membahas soal simbol. Kenapa? Ini kan namanya tidak konsisten,” katanya. Kemudian Iwan juga mempersoalkan kutipan Bourdieu pada buku Language and Symbolic Power yang sama sekali tidak mengutip bagian tentang identitas. “Mestinya bagian itu yang banyak kamu kutip. Bukan pada bagian lain yang justru tidak relevan dan sangat jauh dari studi ini,” lanjutnya. Kemudian Iwan juga mempertanyan pemilihan responden. Katanya, harus dicantumkan alasan kuat mengapa kita memilih responden tertentu.

Bertubi-tubi Iwan memberikan pertanyaan. Di saat Fikri belum selesai menjawab, Iwan selalu memotong dengan pertanyaan baru. Dialognya cukup alot. Hingga akhirnya, Afid memotong dialog tersebut dengan mengatakan,”Nantilah dilihat lagi. Persoalan besar bagi dunia antropologi kontemporer adalah persoalan representasi. Ini yang harus diperhatikan dan dijelaskan dengan argumentasi yang kuat. Antropologi berupaya membangun penjelasan atas satu fenomena yang kecil, namun isunya adalah isu besar. Tanggung jawab kita adalah memberikan refleksi yang kuat atas fenomena itu.”

Usai pernyataan Afid, sidang ditutup. Fikri dan semua supporter keluar ruangan. 10 menit kemudian diundang lagi masuk ruangan. Iwan lalu memberikan pernyataan, ”Setelah kami menguji tesis dan memperhatikan data masa studi serta nilai Fikriyah selama kuliah yang sangat tinggi yaitu 3,71, kami memutuskan bahwa tesis ini dinyatakan lulus dan mendapatkan nilai cumlaude. Ada beberapa tingkatan kelulusan. Mulai dari memuaskan, sangat memuaskan, hingga cumlaude. Nilai cumlaude akan diberikan ketika mahasiswa mencapai IPK di atas 3,70. Atas dasar itu, kami memutuskan Fikri mendapatkan nilai cumlaude pada ujian kali ini,” kata Iwan.

Selanjutnya, ruang sidang dipenuhi tepuk tangan. Saya datang menyalami dan memeluk Fikri. Kebahagiaan memenuhi ruangan. Satu langkah besar telah ditorehkan sahabatku ini. Di tengah suasana ramai tersebut, saya tiba-tiba merasa kesunyian. Jujur, saya iri dengan Fikri.(*)


Jakarta 10 Juli 2008
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com


Merasa Tertipu Saat Nonton Film Hancock




BARU tiba di Jakarta, saya sudah tak tahan ingin nonton film. Di Kota Makassar, pemutaran film sangat lambat kurasa. Di saat film Hulk sudah akan diturunkan dari banyak bioskop di Jakarta, Makassar belum juga memutar film ini. Saya memutuskan untuk menyaksikan film ini dan berimajinasi bagaimana rasanya menjadi seorang pria yang sanggup berubah menjadi raksasa hijau Hulk yang kebal dengan tembakan, kuat sekuat baja dan tak tertembus peluru.

Sayangnya, saat tiba di bioskop Megaria –yang terletak di dekat Stasiun Cikini--, ternyata film Hulk sudah diturunkan karena sudah cukup lama tayang di situ. Film yang sedang diputar, salah satunya adalah film yang dibintangi Will Smith dan berjudul Hancock. Saya ingat dengan resensi film ini di satu harian sehingga kemudian memutuskan untuk menyaksikannya. Resensi itu mengatakan bahwa film ini adalah film tentang seorang superhero yang unik.

Disebutkan bahwa film ini menampilkan seorang superhero yang berbeda dengan lazimnya film superhero. Biasanya, seorang superhero menjalani kehidupan sebagai pria yang tampan misalnya Superman atau Spiderman, atau sebagai pria kaya seperti Iron Man atau Batman. Namun Hancock sangat berbeda dengan semua film tersebut. Hancock –yang diperankan Will Smith—hanyalah seorang pengangguran yang kumuh dan saban hari tidur di pinggir jalan. Jika seorang superhero dirindukan dan diteriaki secara histeris dalam setiap kemunculannya, tidak dengan Hancock. Dia dibenci dan selalu dimaki ketika melakukan aksi sebab merusak apa yang ada di sekelilingnya.

Pakaiannya kotor dan hidup menggelandang. Di saat mengatasi tindak kriminalitas, ia tidak santun dan tidak pernah menganggap dirinya sedang membantu polisi atau masyarakat. Ia melakukannya karena ingin bersenang-senang sehingga kadang menimbulkan kerusakan di sekitarnya. Hancock juga sangat bengal dan tidak peduli bagaimana penampilannya ketika beraksi. Bahkan, pernah ditampilkan adegan ketika ia sedang memadamkan kebakaran dalam keadaan nyaris bugil karena pakaiannya terbakar. Dalam keadaan bugil itu, ia datang ke tempat anak-anak yang sedang antri membeli es krim, kemudian menyerobot begitu saja secara kurang ajar. Itulah Hancock, seorang highlander yang hidup abadi di sepanjang zaman.

Dalam film, dikisahkan pertemuan Hancock dengan seorang pria yang menjadi konsultan public relation yang kerap mengemas pencitraan sesuatu dengan lebih baik. Nah, pria ini kemudian memoles Hancock sedemikian rupa sehingga menjadi superhero yang dicintai publik. Belakangan, ternyata Hancock tidak sendirian. Dia sesungguhnya punya istri yang juga memiliki kesaktian yang sama. Istrinya ini dikisahkan sudah menikah pula dengan konsultan citranya tersebut. Cukup menarik kan?

Sebelum menyaksikan film ini, saya sempat memperhatikan pengunjung bioskop yang mengerumuni posternya. Poster itu menampilkan Hancock dengan wajah close up dan memenuhi poster. Ia mengenakan kacamata dengan lensa yang cukup besar dan nyaris memenuhi seluruh wajahnya. Yang membuatku tersentak adalah pada dua sisi kacamata itu, terdapat bayangan Tugu Selamat Datang atau patung dua orang siswa sekolah yang terletak di tengah Bundaran Hotel Indonesia (gambar yang tampil di blog ini tidak sama dengan yang saya lihat di bioskop). Beberapa orang yang menyaksikan film itu merasa penasaran dan berharap ada adegan yang menampilkan perkelahian Hancock di atas monumen di pusat keramaian Jakarta itu.

Sayang sekali, hingga akhir film, tak ada juga gambar tugu tersebut. Saya menduga, pemasangan gambar tersebut demi stratagi promosi dan mendongkrak popularitas film tersebut di Indonesia. Namun, itu kan sama saja dengan membohongi publik yang penasaran. Itu sama dengan meletakkan hal yang membangkitkan kepenasaranan, namun hingga akhir film, kepenasaranan itu ternyata hanyalah sebuah tipuan belaka. Sebagai penonton saya merasa tertipu.

Film ini sangat menarik jika dilihat dari sisi special effect. Hanya saja jika dilihat dari bangunan cerita, tampaknya biasa saja. Tak banyak penjelasan mengapa dan bagaimana Hancock mendapatkan kekuatannya. Asal-usulnya juga tidak jelas. Apakah ia jatuh dari planet lain, digigit serangga tertentu, ataukah karena mendapatkan kekuatan dari benda mistik tertentu. Meskipun berupaya menggali konflik psikologi, namun film ini bagiku gagal memukau seperti halnya serial Smallville. Film ini agak tanggung sebab berada di tengah-tengah antara komik ala Hulk atau pergulatan psikologi yang seperti Spiderman 2. Film ini ibarat gado-gado yang gurih demi memuaskan selera pasar akan film yang sarat dnegan adegan terbang dan aksi menakjubkan.(*)


4 Juli 2007, Pukul 21.10 malam


Ketika Masuk Jakarta


HARUSNYA saya sangat familiar dengan kota ini. Menjadi warga kota ini selama lebih dari dua tahun, mestinya membuat saya akrab dengan tiap sudut kota ini. Harusnya perasaanku biasa saja ketika memasuki kota ini. Namun, saat turun di Pelabuhan Tanjung Priok, saya tiba-tiba merasa seperti orang udik (ndeso) yang baru saja menginjakkan kaki di kota itu.

Tiba-tiba saja, saya serasa aneh melihat gedung-gedung tinggi, melihat gadis-gadis cantik berhak tinggi, ataupun melihat kemiskinan dan kekumuhan yang sangat telanjang di depan mata. Saat mencari taksi di depan pelabuhan, saya memastikan posisi dompetku berada dalam kondisi yang aman dan tidak bakal jatuh. Saya langsung dikepung perasaan waswas dan tidak aman. Saya takut dengan sudut mata yang memperhatikanku. Jangan-jangan, gayaku seperti orang desa yang masuk kota dan menjadi sasaran empuk untuk ditipu.Yah, Jakarta selalu menyimpan kekhawatiran yang seakan tak ada habisnya. Jakarta tak juga menghadirkan rasa tentram bagiku yang memasuki kota ini.(*)


4 Juli 2007,
Pukul 10.00 pagi


Pelaut yang Bertemu Keluarga Setiap 2 Bulan

GIMANA sih rasanya menjadi anak buah kapal (ABK)? “Kadang stres karena terlalu berada di laut dan jarang bertemu keluarga,” demikian kata Dory, seorang ABK yang kutanya. Berada di laut kadang membosankan baginya sebab pekerjaannya di kapal bersifat rutin dan setiap hari mengalami pengulangan. “Yah, mau gimana lagi. Ini sudah menjadi pekerjaanku,” katanya dengan nada sedih.

Bagi seorang ABK di KM Labobar, masa kerja di kapal adalah selama dua bulan, kemudian mereka diberikan masa cuti dengan jangka waktu dua minggu. Selama dua bulan, ia harus tetap stand by di kapal dan mengerjakan semua pekerjaan rutin yang biasa ditangani ABK, mulai dari satpam, membersihkan, merawat mesin, menyiapkan tangga turun, memeriksa tiket, menjadi pelayan di kafe atau restoran, menunggui ruang informasi, kadang sebagai mekanik atau membetulkan perlengkapan yang rusak. Pekerjaan ABK cukup banyak dan biasanya ditentukan berdasarkan jadwal. ABK bekerja di bawah koordinasi mualim (saya tak tahu dari mana asal kata ini) serta nahkoda. Apa yang menjadi perintah mualim, harus ditepati ABK. Jika tidak, maka ABK itu bisa terancam dipecat atau diberhentikan dengan alasan tidak patuh.

Makanya, Dory bekerja dengan giat sejak pertama kali memilih karier sebagai ABK sejak 20 tahun yang lalu. Ia sudah bekerja di banyak kapal milik Pelni dan sudah mengerjakan berbagai pekerjaan yang biasa dilakukan ABK. Dory tidak punya kendala berarti selama menjalani tugasnya. Kendala besarnya adalah rasa rindu kepada keluarga yang kadang sudah meluap-luap. Apalagi menjelang masa cuti, ia mulai merasa tidak betah bekerja. “Tiap hari yang dipikirin cuma anak-anak sama istri. Saya jadi malas-malasan dan ingin cepat lompat ke darat,” lanjut Dory.

Masa paling sulit baginya adalah ketika punya bayi –yang sedang lucu-lucunya-- sementara ia diharuskan bekerja selama 2 bulan. “Saya punya bayi setelah menikah selama delapan tahun. Segala cara sudah saya lakukan, mulai dari pijat, minum ramuan, hingga menemui dukun. Semuanya saya lakukan demi punya anak. Eh, pas punya bayi, tiba-tiba saya harus kembali bekerja di kapal selama dua bulan. Perasaan saya agak sedih,” katanya lagi. Tapi kan bisa nyari istri di setiap pelabuhan? “Ah, siapa bilang. Malah, saya heran jika ada orang yang kayak gitu. Kok tega-teganya menyakiti istrinya sendiri. Apa dia bisa tanggungjawab dan menghidupi banyak orang. Hubungan suami-istri memang enak. Cuma, selanjutnya apa dia bisa ngasih makan?” katanya. Itulah Dory, pelaut yang berusaha menjaga komitmen.(*)

4 Juli 2007,
Pukul 08.00 pagi


Surabaya 15 Tahun yang Lalu

LIMA belas tahun yang lalu, saya singgah di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saat itu, masih terekam rapi dalam benakku bagaimana fisik salah satu pelabuhan yang terbesar di Indonesia itu. Hari ini, saya kembali mengunjungi pelabuhan itu. Bayangan saya, pasti ada perubahan yang cukup signifikan dibanding sebelumnya. Ternyata anggapan saya keliru. Tak ada perubahan sama sekali dengan fisik pelabuhan ini. Bangunannya masih yang dulu. Terminal penumpang masih nampak kumuh. Di dalamnya, masih hilir mudik begitu banyak pedagang keliling yang menawarkan dagangan sambil berteriak. Suasananya masih kayak pasar. Masih seperti 15 tahun yang lalu.(*)

3 Juli 2008, Pukul 08.00 wita
Saat singgah ke Tanjung Perak


Melewatkan Hari di KM Labobar


AKHIRNYA saya berangkat juga ke Jakarta dengan menggunakan kapal KM Labobar. Mahalnya tiket pesawat terbang, membuat saya tidak punya banyak pilihan moda transportasi untuk mencapai Jakarta. Meskipun biasanya saya selalu naik pesawat terbang, kali ini saya terpaksa harus berangkat dengan kapal laut. Itupun mengambil kelas ekonomi. Saya agak stres membayangkan bagaimana repotnya saya berdesakan naik kapal, bergegas-gegas mencari tempat berbaring, hingga bersikut-sikutan dengan buruh atau calo ketika menemukan satu tempat strategis. Yah, semuanya demi mendapatkan tempat nyaman untuk merebahkan diri selama di perjalanan.

Kalau pelayaran dengan jarak dekat seperti Bau-Bau, bagiku tidak masalah jika harus berbaring di lorong-lorong kapal, namun ini adalah pelayaran yang agak jauh dan menempuh waktu sekitar tiga hari dua malam. Semua keping kenyataan itu menjadi beban yang menggelayut di pikiranku. Saya jadi ragu melangkah. Namun, saya tak punya banyak pilihan. Tak mungkin harus menunda waktu keberangkatan, sementara keperluanku sangat mendesak di Jakarta. Terpaksa, saya harus bisa berdamai dengan situasi yang ada.

Saya menuju Pelabuhan Makassar pada pukul 04.00 subuh. Suasana pelabuhan sangat ramai dan riuh dengan ribuan orang yang kemudian bergegas masuk ke dalam kapal. Ribuan orang berdesakan di pintu masuk yang sempit untuk memasuki lambung kapal. Saya teringat dosenku yang tuna netra yaitu almarhum Mansyur Semma. Dia selalu mengeluh setiap mau naik Pelni. Katanya, sangat tidak nyaman berdesak-desakan dengam ribuan orang termasuk buruh, apalagi buruh Makassar terkenal suka melabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Mereka yang menjadi buruh itu juga berprofesi sebagai calo tempat tidur, bahkan berdagang makanan atau barang keperluan para penumpang. Kata dosenku, sejak dulu penumpang tidak nyaman dengan situasi itu. Sementara Pelni sering mengabaikan keluhan semua calon penumpang tentang betapa tidak nyamannya berjejal naik dengan ribuan orang ke dalam kapal dan setiap saat harus menjaga dompet kalau-kalau berpindah ke tangan pencuri. Itulah cerita umum bagi mereka yang menggunakan jasa Pelni.

Saya naik kapal KM Labobar ini dengan rasa waswas karena tidak tahu harus merebahkan badan di mana. Untunglah, saat berada di kapal, temanku Dambo berhasil melobi seorang anak buah kapal (ABK) agar mengizinkan kami tidur di kamarnya. Tentu saja dengan konsekuensi kami harus membayar biaya sewa sebesar Rp 750 ribu untuk dua ranjang sepanjang perjalanan. Kami bersedia membayar sebab kamarnya adalah kamar setara kelas 2, yang di dalamnya terdapat televisi, wastafel, disepenser, serta ruang yang nyaman dan ber-AC. Sementara si ABK itu juga merasa girang sebab bisa mendapatkan penghasilan tambahan dalam perjalanan ini. Maka mulailah saya melewati hari dengan berbaring nyaman di ranjang sembari memeluk guling dan membaca buku. Semoga menjadi perjalanan yang menyenangkan.(*)

2 Juli 2008, Pukul 22.00
Saat berada di tengah laut, di KM Labobar


Maafkan saya... Maafkan saya....

Kepada mereka yang kerap mengunjungi blog ini, saya minta maaf. Besok pagi, saya akan berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kapal laut. Maklumlah, saya tidak kebagian tiket pesawat karena harganya yang selangit. Saya cuma bisa dapat tiket kapal Pelni, itupun kelas ekonomi sebab semua tiket kelas sudah ludes terjual. Sekali lagi saya minta maaf karena mungkin selama beberapa hari, blog ini tidak akan di-update dengan informasi yang baru. Terima kasih...