Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Selama Sejam Aku Dicekam Ketakutan



AKHIRNYA aku tiba juga di Kota Makassar, tepat di hari Natal, Selasa (25/12). Lembut sepoi-sepoi anging mammiri langsung mengembus wajahku saat pertama menginjakkan kaki di Bandara Hasanuddin. Hujan keras seakan menyapa hadirku setelah meninggalkan kota ini selama enam bulan lebih. Memang, waktu itu teramat singkat bagi sebagian orang. Namun, apa sih batasan singkat dan lama bagi sebuah rasa betah dan keterikatan pada satu tempat? Bagiku waktu itu cukup panjang untuk berpisah dengan kota yang telah menorehkan begitu banyak kesan di dalam diriku, menumbuhkan semangat, serta gerbang pencarianku pada diriku sendiri.
Aku memandang langit sambil mengumandangkan rasa syukur. Baru saja aku lepas dari cekaman ketakutan selama sejam lebih ketika pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat di bandara. Langit Makassar masih dikepung awan hitam hingga cahaya seakan tidak punya ruang untuk menyapa sudut-sudut kota ini. Beberapa saat yang lalu, awan hitam itu menjadi pemandangan horor bagiku. Selama sejam lebih, pesawat yang kutumpangi hanya berputar-putar di atas sebuah pulau kecil –mungkin Pulau Lanjukkang-- di depan kota Makassar. Meskipun pramugari telah mengumumkan bahwa lima menit lagi pesawat akan segera mendarat, ternyata hingga sejam berikutnya pesawat tak juga menyentuh landasan bandara. Melalui jendela pesawat, kusaksikan awan hitam yang pekat telah mengepung kota Makassar hingga pesawat tak berani menembusnya.
Saat itu, aku dicekam rasa takut. Beberapa rekan di sekelilingku sudah mulai berdoa sambil memejamkan mata. Di belakangku, seorang wanita juga berdoa di saat wajahnya memancarkan aroma kekhawatiran. Semua ketakutan. Awan hitam yang memayungi Makassar itu menjadi pemandangan yang menakutkan kami semua. Bayangan tentang pesawat jatuh serta terbakar tiba-tiba saja memenuhi ruang-ruang berpikirku. Ah, apakah ini saatnya? Jangan. Aku merasa belum banyak melakukan apa-apa dan masih ingin melakukan banyak hal. Kembali kusaksikan awan hitam yang bergulung di depan sana.
Setelah lewat sejam, pilot memutuskan untuk menembus awan hitam itu. Sabuk pengaman dikencangkan. Saat itu, pesawat seakan berguncang-guncang. Ada suara seakan-akan pesawat menabrak sesuatu. Aku dicekam ketakutan. Jendela pesawat dibasahi air hujan. Penumpang di belakangku langsung muntah-muntah. Ternyata, di sebelahku juga ikut muntah, serasa menumpang kapal kecil jenis katinting.. Hingga akhirnya pesawat kian merendah dan berhasil menyentuh landasan. Rasa syukur langsung menyergap. Hey..... wajahku pucat pasi.

BELUM SELESAI

Asian Idol: Sebuah Kontestasi Kebudayaan


TERNYATA pemenang kontes Asian Idol adalah peserta asal Singapura yaitu Mirzahady bin Amir (Mirza Hady). Hari ini, Senin (17/12), saya tercengang saat membaca berita bahwa Mirza berhasil mengumpulkan dukungan SMS terbanyak dan menyisihkan kandidat terkuat yaitu Mike Mohede (Indonesia) dan Jacklyn (Malaysia). Mirza Hady –pria keturunan Bugis Makassar dan Cina ini-- sukses meraih supremasi tertinggi di ajang nyanyi yang melibatkan negara Asia tersebut. Ia sanggup meraih dukungan tertinggi dari pengirim SMS yang ternyata sebagian besar di antaranya adalah warga Indonesia.

Di satu sisi, kemenangan ini menyimpan keanehan tersendiri, apalagi jika harus dilihat dengan tolok ukur kuantitatif yaitu data statistik jumlah penduduk. Bagaimana mungkin, negara sekecil Singapura yang jumlah penduduknya hanya 4,4 juta orang (Brytannica Encyclopedia, 2005), bisa mengalahkan peserta dari Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 241 juta? Mengapa warga Indonesia justru harus memilih Mirza yang berasal dari Singapura dan tidak memilih Mike Mohede asal Indonesia?

Bagi saya, asumsi kuantitatif seperti itu jelas gagal menjelaskan fakta kemenangan Mirza. Kita membutuhkan analisis lain yang kira-kira memiliki kadar ketepatan yang lebih tinggi dalam membaca realitas ini. Nah, tulisan ini akan coba menyoroti berbagai fenomena Mirza Hady dari sisi yang berbeda. Bagi saya, fenomena ini sangat menarik sebab menjelaskan bagaimana kebudayaan bisa menerobos batas struktur politik bernama negara. Pada akhirnya, negara tidak lebih dari sebuah teritori politik belaka, tidak sampai jauh menjelajah pada tingkat kebudayaan hingga mempengaruhi pilihan-pilihan seorang individu. Kata Fukuyama, negara laksana debu-debu yang bakal tersaput angin (Fukuyama 2005).

Minggu lalu, saya sempat membahas ini dengan beberapa teman di kantin Fisip UI yaitu Jaya, Mitha, Taufik, dan Dyah. Saat itu, Jaya berkomentar kalau peserta dari Indonesia pasti menang karena jumlah penduduknya besar. Demikian juga Mitha. Saya justru tidak yakin dengan itu. Alasanku peserta Indonesia yaitu Mike Mohede kurang “Indonesia.“ Ia juga tidak seganteng Delon atau merepresentasikan etnis tertentu seperti halnya Joy Tobing, si cantik dari Medan itu. Bagiku, faktor-faktor seperti itu justru sangat penting untuk memenangkan kontes nyanyi yang kriteria pemenangnya ditentukan dari perolehan jumlah SMS. Namun Mitha menjawabnya dengan kalimat, “Tapi Mike kan culun banget.“ Iya deh.... Mungkin Mitha benar.

Hari ini, teka teki siapa pemenangnya akhirnya terjawab. Kemenangan Mirza hari ini benar-benar luput dari sangkaan banyak orang termasuk Mitha. Setahuku, tak ada satupun komentator yang memprediksi kemenangannya. Apalagi, secara kualitas, Mirza tidak lebih baik jika dibandingkan dengan Mike ataupun Jacklyn.

Lantas, apa fakta-fakta yang bisa menjelaskan kemenangan Mirza? Bagiku, kemenangan itu dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, Mirza berhasil mengangkat isu dirinya adalah keturunan Bugis-Makassar, yang menjadi bagian dari sanubari dan kesadaran kolektif orang Indonesia. Kedua, pemilihan lagu yang tepat saat berada di panggung. Ketiga, performance serta sikap dan komentar Mirza saat berada di luar panggung, khususnya komentar yang simpatik di media massa.

Kita akan bahas argumentasi itu satu persatu. Isu keturunan Bugis Makassar sudah lama menjadi perhatian media kita, khususnya media lokal yang ada di Sulawesi Selatan. Ternyata, Mirza tak malu-malu mengakui hal tersebut. Bisa jadi, ia sadar dan menjadikan itu sebagai strategi kultural. Saat Mirza datang ke Jakarta untuk mengikuti Asian Idol, media lokal sudah menulis dengan kalimat “Putra Bugis Ikuti Asian Idol.“ Bahkan, beberapa elite lokal Sulsel juga memberikan beragam komentar yang kesemuanya mendukung Mirza sebagai seorang putra Bugis yang akan berlaga di ajang Asian Idol ini. Saya juga dapat info dari teman di Makassar, pemenang pilkada Gubernur Sulsel yaitu Syahrul Yasin Limpo, ikut-ikutan memberikan komentar dan dukungan pada “Putra Bugis“ yang kini membela Singapura tersebut. Sebagaimana tercatat dalam penelitian Ahimsa (1997), warga Sulsel cenderung primordial dan mempertahankan identitas etnisnya di manapun ia berada, baik itu bahasa maupun adat-istiadat. Mereka terkadang berlebihan membanggakan etnisnya sehingga kerap menebar benih konflik di manapun mereka berada. Ini sangat berbeda dengan pola merantau orang Buton yang cenderung lebur ke dalam etnis mayoritas di tanah perantauan (Ahimsa 1997). Meskipun seorang warga Sulsel merantau dan empat generasi keturunannya kembali ke daerah, maka tetap diakui sebagai orang Bugis. Dalam konteks Mirza, ketika ia datang ke Jakarta untuk kontes Asian Idol, ia langsung menyebut dirinya sebagai keturunan Bugis Makassar melalui ayahnya. Ini menjadi strategi yang sungguh tepat. Dukungan kepadanya langsung mengalir karena orang melihat dirinya sebagai putra Bugis Makassar.

Itu adalah fakta pertama. Selanjutnya, Mirza sangat pandai memilih lagu yang akan dipentaskan di atas panggung. Ia memilih lagu berirama Melayu berjudul Berserah, ciptaan Taufik Batista. Ia tidak mau ikut-ikutan seperti kandidat lain yang memilih lagu-lagu barat untuk menunjukkan kualitas vokal. Dengan rendah hati ia memilih lagu Melayu karena meyakini lagu ini bisa dipahami oleh semua orang Indonesia, audience terbesar yang menyaksikan ajang tersebut. Tampaknya, ia sadar betul bahwa pemenang ajang ini bukan persoalan kualitas vokal dan kemampuan bernyanyi yang baik. Ia harus bisa menggugah empati sebagian besar penonton acara ini sehingga mengirim SMS dukungan kepadanya.

Selanjutnya, persoalan performance dan komentar. Saya beberapa kali menyaksikan komentarnya di tayangan infotainment. Bahasa Indonesianya sangat lancar --yang diakuinya sebagai pengaruh dari ayahnya yang Bugis itu. Ia beberapa kali mengatakan, hendak mencari keluarga ayahnya di Kota Makassar. Dengan cara berkomentar di media seperti ini, ia berhasil menghancurkan batasan atau image bahwa dirinya adalah orang asing yang datang ke negeri ini. Ia menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari warga Indonesia yang kemudian merantau dan sukses di negeri lain. Ia menjelma menjadi sosok Indonesia yang sukses di negeri lain hingga membersitkan kebanggaan bagi warga Indonesia. Ia seakan-akan seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tiba-tiba pulang kampung dan menjadi buah bibir karena tampak kaya. Saya kira, studi tentang perantau yang sukses ini sudah banyak dilakukan dalam literatur antropologi. Masyarakat kita masih menganggap hebat seorang perantau yang sukses. Dengan strategi kultural seperti ini, semua orang tidak berpikir bahwa dirinya adalah orang asing yang datang ke sini sambil membawa paspor negara lain. Tiba-tiba saja, image Mirza lebih “Indonesia” ketimbang Mike Mohede, yang tidak begitu dikenali asal etnisnya. Dengan memilih lagu Melayu, maka Mirza identik dengan ke-Melayu-an, sebuah kategori besar yang di dalamnya terdapat aspek bahasa, adat-istiadat serta agama. Tidak heran jika sebagian besar warga Indonesia, Singapura serta Malaysia justru lebih memilih Mirza ketimbang peserta negaranya sendiri.

Dengan pemaparan fakta ini, apa sih hikmah atau pembelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini? Pertama, studi kualitatif lebih bisa menjelaskan realitas jika digunakan dengan prosedur serta metodologis yang tepat. Kekuatannya terletak pada sejauh mana argumentasi dan narasi dibangun untuk menjelaskan sebuah realitas. Kedua, kategori etnisitas lebih punya power ketimbang negara. Kesadaran bernegara bisa bubar kapan saja, namun kesadaran etnisitas barangkali tidak akan pernah pudar. Negara bisa menggerakkan warganya dengan sejumlah alat paksa berupa tangan kekar hukum, namun tidak serta-merta menjelma menjadi kesadaran untuk membela segala sesuatu yang berbau negara. Ketika dihadapkan pilihan antara etnis dan negara, maka publik bisa memilih etnisitas. Sebab kategori etnis adalah bagian dari kebudayaan dan kesadaran bersama, sesuatu yang dekat dengan ranah kemanusiaan kita.........

(udah ah.... mau jawab soal ujian Pak Afid dulu)

17 Desember 2007, pukul 22.00

Saat pusing mikirin soal ujian Pak Afid


Nyanyi Sunyi Kaum Antropolog


HARI ini adalah hari kedua lokakarya memperingati 50 tahun antropologi Universitas Indonesia (UI). Lokakarya yang bertemakan “Konflik dan Disharmoni Sosial pada Era Reformasi di Indonesia: Sumbangan Pemikiran Antropologi untuk Pembangunan Demokrasi” ini, dihadiri oleh civitas akademika UI, sejumlah utusan dari jurusan antropologi berbagai universitas serta sejumlah peneliti dan aktivis organisasi non pemerintah.

Lokakarya ini cukup ramai dan digelar di Ruang Aula AJB Bumiputera di kampus Fisip UI, Selasa (11/12) hingga Rabu (12/12) hari ini. Dalam jadwal tertera keynote speaker adalah Menteri Pertahanan Prof Juwono Sudarsono. Kemarin, saat tiba di ruangan, saya melihat nama keynote speaker yang tercantum di spanduk adalah Thamrin Amal Tomagola PhD. Juwono batal hadir dan hanya bisa diwakili oleh seorang staf pejabat di kementriannya. Biar ada kesan ilmiah, panitia mengganti nama Juwono dengan Thamrin. Keputusan ini sangat tepat sebab Thamrin sudah lama “berkubang” dengan isyu konflik atau disharmoni sosial. Apalagi, ia pernah mempublikasikan karyanya berjudul Republik Kapling yang berisikan analisis atas gejala konflik di Indonesia.

Selain keynote speaker, sejumlah pemateri dari berbagai institusi dan kampus di Tanah Air dihadirkan untuk memperluas horizon cakrawala menyangkut konflik, disharmoni sosial, dan strategi penyelesaiannya. Saya melihat daftar pematerinya cukup lengkap dan merepresentasikan makalah mengenai aneka ragam konflik di Tanah Air. Mulai dari Al Chaidar (Aceh) hingga Habel Samakori S.Sos (Papua). Namun, pemateri yang menjadi magnet kedatanganku di situ adalah dua orang rekan sesama kerabat Pasca Antrop yaitu Marko Mahin dan Herry Yogaswara, yang sama-sama membahas tema mengenai konflik Sampit. Presentasi dua kawan ini yang membuat saya hadir untuk mengikuti lokakarya ini. Nantilah, presentasi mereka akan saya ceritakan pada tulisan yang lain.

Awalnya, saya agak enggan mengikuti seminar ini hingga tuntas, meskipun saya juga ingin menyaksikannya. Membaca temanya yang mencantumkan kata “sumbangan antropologi”, terasa ada pesimisme yang menyeruak bahwa antropologi adalah ilmu yang tidak pernah “dilirik” dalam proses pembangunan demokrasi sehingga tidak jelas apa sumbangsihnya. Kebimbangan itu akhirnya menjadi kenyataan saat saya mengikuti lokakarya di hari pertama. Pada presentasi kedua di hari pertama yang menghadirkan pembicara yaitu Ngurah Suryawan (Bali), Herry Yogaswara (Sampit), dan Habel Samokori (Papua), tema-tema tentang bagaimana terpinggirkannya antropologi menjadi tema yang mencuat pada sesi tanya jawab. Beberapa peserta berkomentar kalau selama ini antropologi tidak pernah mendapatkan “tempat yang semestinya“ dalam berbagai analisis konflik di Indonesia. Dalam pandanganku, lokakarya ini hanya menjadi ajang keluh-kesah. Sebagaimana ajang lainnya, lokakarya ini hanya mendengungkan suara parau dan nyanyi sunyi dari kaum antropolog bahwa mereka punya ilmu yang semestinya bisa digunakan untuk menguatkan demokratisasi di negeri ini. Bagiku, lokakarya ini hanya menegaskan bentuk ketidakberdayaan antropologi untuk mengambil peran serta memberikan sumbangsih bagi upaya membangun harmonisasi pada masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

Keluh Kesah Antropolog

Yang menarik bagiku adalah Ketua Departemen Antropologi UI Prof Yasmin Shahab ikut-ikutan mengomentari persoalan ini. Menurutnya, jika di tataran ilmu ekonomi dikenal profesi risk analysis, maka seyogyanya pemerintah kita juga menempatkan seorang antropolog sebagai risk analysis yang mengidentifikasi potensi konflik sosial dan budaya. “Sayangnya, banyak kritikan yang mengatakan kalau riset antropologi itu terlalu lama. Mestinya ada formulasi riset yang dipersingkat agar ada pemetaan gambaran awal yang bersifat sementara. Sedangkan persoalan yang lebih serius akan diidentifikasi melalui riset etnografi yang panjang itu,” katanya. Bagiku, pernyataan Yasmin kian mengafirmasi terpinggirkannya posisi antropolog dalam membaca realitas konflik di Indonesia.

Kembali ke soal keluh kesah. Dengan mengusung satu tema besar serta hanya dihadiri oleh insan antropolog sendiri, lokakarya ini palingan hanya menjadi sebuah ritual atau kegiatan seremonial untuk memperingati 50 tahun antropologi UI. Nantinya, akan ada laporan bahwa telah digelar sebuah acara besar yang ramai dan menghadirkan banyak antropolog yang sama-sama membicarakan apa kira-kira sumbangan dan peran yang bisa diambil. Kemudian semuanya sama-sama sepakat atau bertepuk tangan bahwa antropologi punya peran besar untuk menemukenali masalah sosial kemudian merumuskan formulasi penyelesaiannya. Setelah itu, rangkuman lokakarya akan diserahkan kepada pemerintah, tanpa tahu apakah hasilnya akan menjadi rekomendasi yang berharga untuk menyelesaikan konflik ataukah mungkin sekedar memenuhi laci kerja di kementrian negara.

Ah, mungkin saya terlalu pesimis melihat ajang ini. Dalam pandanganku, sudah ada begitu banyak ajang pertemuan dan diskusi di kalangan para antropolog Indonesia setiap tahunnya. Di tahun 2000, saya sempat menyaksikan seminar dan lokakarya Antropologi Indonesia yang diadakan Jurnal Antropologi di Universitas Hasanuddin. Saat itu, saya mendengar kalau ajang itu diprotes keras oleh Iwan Tjitradjaja –kini jadi dosenku-- yang menilai pertemuan itu tak banyak memberikan faedah untuk membuat suara antropologi kian nyaring terdengar. Ajang ini hanya akan menjadi ajang arisan bersama serta tepuk tangan bersama menyepakati bahwa ilmu ini punya kekuatan untuk menjelaskan sesuatu. Nantinya, kita akan berdecak kagum siapa yang paling pintar atau siapa yang paling bagus makalah atau presentasinya. Semacam arisan massal yang mempertemukan banyak peneliti dan di akhir acara akan ada pembahasan siapa tuan rumah pertemuan berikutnya. Ternyata, budaya arisan juga melanda antropolog. Budaya kumpul-kumpul dan “bertanding” siapa yang paling pintar serta bertepuk tangan dengan ceria.

Solusi Marko Mahin

Itulah kesanku di hari pertama. Pada hari kedua, saya berusaha menyempatkan waktu untuk hadir dan mendengarkan apa saja tema-tema yang kira-kira mencuat di kalangan para antropolog. Dalam pandanganku, pasti diskusinya akan lebih terkristal dan menukik ke persepsi yang sama dalam membaca realitas konflik termasuk bagaimana peran antropolog. Hari ini, tema pembicaraan mulai mengarah ke situasi harmoni dan rekonsiliasi. Terasa ada hembusan angin optimisme bahwa pendekatan antropologis yang humanis itu bisa menjadi jawaban atas tragedi kekerasan yang menggerus republik ini. Pada diskusi sesi pertama yang menghadirkan Marko Mahin (Sampit), Marsel Robot (Flores), dan Zaiyardam Zubir (Padang), tema rekonsiliasi konflik serta peran antropolog itu kembali mencuat. Apalagi, pada sesi tanya jawab, seorang penanya yaitu yaitu Indrasari Tjandraningsih dari Akatiga Bandung, juga menyinggung persoalan ini. “Persoalannya adalah bagaimana para antropolog mengambil peran di tengah isu konflik yang terus mengemuka di negeri ini. Rasanya terlalu ’angkuh’ jika konflik hanya dilihat dari sisi antropologi. Mesti dilihat dan dipahami secara utuh dari berbagai disiplin ilmu,“ katanya. Persoalan senada juga disinggung oleh penanya lainnya yaitu antropolog asal Aceh bernama Teuku Kamal Fasya.

Isyu yang mereka kemukakan ini adalah isyu yang mencuat sejak kemarin. Rasanya, tidak banyak antropolog atau peneliti yang mau menanggapinya. Yang membuatku tercengang adalah sahabatku Marko Mahin memberikan satu jawaban yang kemudian menjadi diskursus atau wacana yang beberapa kali disebut-sebut sepanjang lokakarya ini. Marko mengatakan, “Saya kira antropolog punya andil dalam memberikan semacam early warning system atau peringatan dini bahwa akan ada konflik besar yang akan terjadi. Dalam kasus Sampit, tatkala beberapa komunitas Dayak mulai melakukan ritual tertentu dan sejumlah Pangkalima hadir dan ikut ritual itu, saat itu para antropolog sudah mulai ’mencium’ gejala konflik besar yang akan segera terjadi. Sayangnya, suara mereka sejak awal tidak diperhatikan otoritas pengambil kebijakan.”

Mendengar jawaban ini, saya sempat terhenyak. Marko berani mengeluarkan pendapat di tengah ajang yang mempertemukan banyak antropolog senior. Pendapat ini yang kemudian beberapa kali disebut peserta lokakarya mulai dari Yasmin Shahab, Iwan Pirous, hingga Thamrin Amal Tomagola. Bagiku, ada genangan pesimisme yang membuat para antropolog ini seakan merasa kehilangan peran. Genangan itu bermuara pada diskursus kekhawatiran antropolog akan kehilangan peran di negeri ini. Mestinya itu bisa diterabas jika berbagai peran-peran strategis itu bisa dilaksanakan. Tentu saja, berbagai konflik di Indonesia bisa sedikit diminimalisir jika para antropolog bisa mengupayakan agar suaranya nyaring terdengar. Thamrin Amal Tomagola juga membenarkan kalimat Marko. Menurutnya, mesti ada strategi resolusi konflik yang sifatnya kultural serta bisa mengapresiasi lokalitas. “Yang bisa mengidentifikasi itu adalah para antropolog,“ katanya.

Nah, persoalannya kemudian adalah bagaimana membuat suara antropolog bisa nyaring terdengar? Tentu saja, itu adalah perkara metodologis. Jika ilmu ini sanggup menelisik sisi-sisi lain dari konflik di Indonesia hingga hal yang remeh-temeh, maka semestinya antropologi juga harus mampu mencari celah agar suaranya bisa nyaring terdengar. Suara antropologi harus bisa berdengung, tidak hanya di ajang seminar para antropolog saja, namun juga di berbagai arena lainnya. Itulah tantangan ke depan.........(*)

(ini belum tuntas, masih banyak yang mau saya ceritakan, termasuk presentasi Marko dan Herry. tapi saya capek dan mau tidur. sepulang lokakarya tadi, tadi saya terkena hujan. kepalaku agak sakit dan butuh istirahat. Zzz...zzz...zzz)

12 Des 2007, Pukul 19.13 WIB

Saat perut keroncongan dan hendak keluar cari makanan


Tiah Protes

Kakakku Tiah protes, kenapa namanya tidak kusebut dalam tulisan tentang Harry Potter?
Yah, aku cuma bisa minta maaf. Barangkali mesti ada edisi ralat atas tulisan Harry Potter tersebut. Kupikir-pikir, mungkin aku salah juga karena tidak menulis namanya. Padahal, dia punya kontribusi besar atas munculnya wacana Harry Potter di pikiranku. Iya yah, dia yang pertama berinisiatif meminjam novel tersebut, hingga kami semua --yang saat itu tinggal di Bumi Tamalanrea Permai (BTP)-- langsung tergila-gila dengan tokoh ini. Minta maaf Tia yaa?

Menanti Harry Potter 7


TIDAK lama lagi edisi bahasa Indonesia Harry Potter ke-7 berjudul “Harry Potter and The Deathly Hallow” akan segera keluar. Adikku Atun dan Dwi sudah mulai menyiapkan duit untuk membeli novel itu pada Januari mendatang. Jutaan pencinta Harry Potter di Indonesia sudah tidak sabar untuk menanti novel tersebut. Mereka ingin segera melayang-layang seakan terbang ke bangunan tinggi menara sekolah sihir Hoghwarts, menyusuri perjalanan Harry Potter, bercengkerama dengan berbagai hantu seperti Myrtle Merana, Nick si Kepala Nyaris Putus, hingga raksasa maupun troll.

Jutaan manusia ingin bersama Harry Potter serta sahabatnya seperti Ron Weasley, Hermione Granger, Neville Longbottom dan menghadapi intrik kotor dari Lord Voldemort serta para pelahap maut (death eater). Harry Potter memang punya magis yang sangat sakti. Tidak saja karena mampu mengangkat tongkat sihir dan merapal mantra “Expecto Patronus”, kemudian keluar cahaya yang berwujud rusa dan menyerang hantu Dementor. Namun, Harry juga sanggup menyihir berjuta-juta penduduk bumi agar menjadi penggemar setia hingga mengukuhkan buku itu menjadi best seller, buku yang tercatat dalam sejarah sebagai buku terlaris yang pernah dibuat seorang pengarang di muka bumi ini.

Saya pun ikut terkena sihir Harry Potter. Jauh sebelum difilmkan oleh sutradara Chris Amstrong, saya sudah membaca novelnya dan serasa menemukan dunia baru yang sungguh menakjubkan. Ada rasa bahagia menemukan tempat di mana rasionalitas tiba-tiba diremukkan. Berpikir ilmiah tiba-tiba dinafikan. Ingin kaya, cukup menjentikkan jari atau hanya mengusap lampu Aladin dan keluarlah jin yang akan mengabulkan semua permintaan. Ini dunia sihir. Segala hal yang mistis menjadi keniscayaan serta menjadi hal yang lumrah saja bagi mereka yang berada di dunia sihir Harry Potter. Dikarenakan sihir menjadi hal yang lumrah, muncullah sebuah kontestasi. Semacam pertandingan atau adu kesaktian antar penyihir sehingga yang paling sakti merasa perlu duduk di singgasana kemudian memerintah dunia. Inilah satu inti cerita Harry Potter yang memesona banyak orang termasuk aku.

Yang saya kagumi, pengarangnya JK Rowling bukanlah orang yang serakah. Sejak awal ia hanya merencanakan Harry Potter hanya tujuh buku. Ia berpikir bahwa sebuah karakter dan cerita, mesti punya akhir sehingga pembaca tidak banyak berinterpretasi tentang bagaimana ending-nya. Bagiku, Rowling adalah maestro yang hebat dan imajinatif hingga sanggup menghanyutkan semua orang ke dalam kisah seorang penyihir cilik yang menuntut ilmu di sekolah sihir Hoghwarts Witchcraft and Wizardly. Ia pandai meramu kisah tentang sihir, hantu, serta berbagai legenda menjadi satu cerita menarik. Dalam satu wawancara dengan Newsweek, Rowling mengungkapkan rahasianya. Ia mengatakan,”Saya beruntung karena dilahirkan di Inggris. Ini adalah negeri yang kaya dengan mitos, folklore, serta berbagai dongeng. Semuanya menjadi kekuatan bagi saya untuk meramu Harry Potter.“ Bayangkan, ia menyerap inspirasi dari begitu banyak dongeng di Inggris. Bandingkan dengan ribuan dongeng dan folklore negeri kita yang dilupakan begitu saja. Mestinya, semua cerita itu bisa menjadi kekuatan dahsyat yang mempengaruhi banyak orang.

Saya masih ingat saat pertama membaca buku Harry Potter 1 berjudul “The Sorcerer Stone.” Waktu itu, aku masih berada di Makassar. Adikku Atun meminjam novel itu di satu rental buku yang terletak di Jalan Cenderawasih. Ia membacanya dan merasa terkejut karena buku itu menyimpan banyak kejutan, misteri dan imajinasi yang kesemuanya digabung dalam satu adonan cerita yang renyah. Kata Atun, “Saya kaget sekali. Tidak mau berhenti sampai lembaran terakhir. Barusan saya baca novel dan terkejut sekali.” Demikian juga dengan saya. Makanya, semua buku Harry Potter selalu saya baca. Setiap membaca Harry Potter, saya selalu tidak bisa menebak apa ending atau penyelesaian akhirnya. Biasanya, alur novel sama dengan alur film India: selalu mudah ditebak. Namun tidak dengan Harry Potter.

Kadang-kadang, saya buat permainan tebak-tebakan dengan Dwi dan Atun. Kami saling bertanya tentang bagian tertentu dari kisah Harry Potter untuk ditebak. Pernah sekali, Dwi tak mampu menjawab pertanyaanku. Saat kutanya, “Siapa nama raksasa adiknya si Hagrid?” Ia tak mampu menjawab dan dilanda rasa penasaran hingga akhirnya ia terpaksa buka buku Harry Potter V. Kalah juga dia. Hehehehe…..

Saya juga masih ingat saat peluncuran Harry Potter VI. Saat itu, saya menemani Dwi dan antri di stand Gramedia Panakkukang, tepat pukul 12.00 malam. Bayangin, di tengah malam, banyak yang antri demi Harry Potter. Saat itu, ada bonus tas, topi sihir serta sticker. Saya sih pengennya ada tongkat ajaib biar bisa menyihir diri sendiri agar cepat kaya dan tak perlu kuliah jauh-jauh ke UI. Kudengar, di Jakarta ada arak-arakan dan perayaan diluncurkannya edisi bahasa Indonesia. Semuanya kian menguatkan kesan di benakku: Harry Potter telah menyihir banyak orang di Indonesia.

Untuk Harry Potter 7 ini, aku yakin pasti suasananya akan jauh lebih meriah. Sebab ini adalah buku terakhir serta pamungkas yang mengkahiri semua rangkaian perjalanan si penyihir tersebut. Akhirnya, tiba juga edisi yang menjelaskan semuanya sejak awal. Aku belum tahu, pada peluncuran ini apakah berada di Jakarta, ataukah di Makassar? Ah, nantilah kita lihat.

Depok, 2 Desember 2007

Pukul 13.14 (seusai makan siang)



Kumis Seksi, Kumis Pak Azis


BEBERAPA hari yang lalu, saya berkunjung ke kos Pak Azis di Jl Margonda Raya. Pak Azis, seorang mahasiswa program doktoral antropologi yang sudah menyelesaikan semua kuliah tatap muka. Awalnya, saya pikir pasti Pak Azis sedang sibuk menyiapkan proposal penelitian dan jawaban soal kualifikasi. Dalam bayanganku, pasti kamarnya akan penuh buku yang berserakan, kertas berisi catatan atas bahan bacaan, serta kopian dari beberapa jurnal terbaru antropologi. Pikirku, ia sedang serius mengasah “ginkang” dan “iwekang” serta sejumlah jurus dari berbagai aliran antropologi agar kelak ia sanggup berdiri tegak dan salto berjumpalitan ketika “diserang“ dengan jurus Pak Iwan dan Pak Afid saat ujian nantinya.

Saat tiba di situ, ternyata tak ada buku dan kertas berserakan. Tak ada juga sejumlah jurus baru dari dunia “kangouw“ antropologi. Kamarnya tetap rapi seperti biasa. Apa yang dilakukannya? Apakah ia sedang memperdalam “tenaga dalam“? Apakah ia tengah berguru pada suhu Marvin Harris yang terkenal digdaya dengan ilmu materialisme kebudayaan? Ternyata tidak. Ia sedang nonton televisi yang disambungkan di laptop di kamarnya. “Canggih khan. Padahal nda mahal ji,“ kata Pak Azis dengan logat Bugis yang kental saat memperlihatkan kecanggihan laptopnya. Ia telah membeli perangkat TV Tunner dan disambungkan ke laptopnya. Seperti biasa, saya akan melontarkan jawaban, “Wah, luar biasa. Cobanya kalo ada juga satu kayak begini di kamarku diii,“ kataku dengan bumbu sedikit pujian sembari berharap bakal dikasih utang sama beliau. Hehehe...

Setelah itu, ia memperlihatkan sejumlah rancangan desain sutra atau batik yang tengah digarapnya. Gambar desain sutranya sangat detail. Menurutnya, rancangan itu akan ditawarkan ke sejumlah daerah atau kabupaten, biar dipatenkan menjadi desain baju batik setempat. Memang, sejumlah daerah di Sulawesi mewajibkan para pegawai negeri sipil (PNS) untuk memakai baju dengan unsur muatan lokal pada hari tertentu, biasanya hari Jumat. Ternyata, itu dilihat Pak Azis sebagai peluang bisnis. Insting bisnisnya yang diasah sejak menjadi mahasiswa program magister desain dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tetap tajam. Apalagi, sejak kuliah di antropologi, ia makin memiliki keahlian dalam mengidentifikasi khasanah budaya lokal yang ketika digabungkan dengan bidang desainnya, bisa mendatangkan banyak duit. Apakah benar sudah mendatangkan banyak duit? “Tidak ji. Saya baru mau tawarkan rencana ini sama beberapa daerah. Tunggumi, pasti ada yang latto,” katanya. Dalam bahasa Makassar, latto adalah istilah yang bermakna sesuatu yang sukses dijalankan. Misalnya, ketika saya naksir seorang gadis dan berhasil dipacari, maka saya akan mengatakan latto sebagai tanda sukses dipacari.

Nah, kembali ke soal proposal. Seingatku, Pak Azis hendak meneliti bagaimana identitas Kota Wajo di Sulsel yang mengkalim dirinya sebagai kota sutra. Padahal, benang sutra selalu diimpor dari Thailand atau Cina. Menurutnya, ini terkait fenomena identitas dan globalisasi. Beberapa kali ia memintaku untuk membantunya, minimal bikin fieldnote banyak-banyak. Saat kutanya bagaimana proposal, ia menjawab, “Aiihh, nda bisa ka’ berpikir sekarang. Nantipi saya pikir proposal. Sekarang ini, cari uang dulu,” katanya. Pantas saja, Pak Azis sibuk melihat celah peluang bisnis dan mencari peluang untuk mempertebal pundi-pundi keuangannya. Yang kuherankan adalah meski masih mencari celah bisnis, namun kesibukannya luar biasa. Ia jarang pulang ke kos. Hari-harinya banyak dihabiskan untuk bertemu orang-orang dan membahas rencananya. Pantas saja, temanku Jaya berkomentar, “Belum dapat proyek saja udah sibuk. Apalagi kalo udah dapat ya. Pasti kita udah dilupain.“

Akhirnya, saya tak mau menyinggung-nyinggung masalah proposal. Ia lalu pamit ke kamar kecil untuk mandi. Rencananya, ia mau traktir makan di Warung Banyumas, yang terletak tidak jauh dari kamarnya. Lama nian kutunggu, ia tak juga keluar dari kamar mandi. Kucatat ada sekitar 45 menit dihabiskannya di kamar mandi. Saat keluar, ia sudah rapi. Beberapa rambut yang tumbuh di dagu dan pipi sudah dicukurnya dengan rapi. Ia terlihat lebih tampan dibanding sebelumnya. Namun, kok kumisnya sama sekali tidak dicukur? “Wah, ini jangan dicukur. Kegantenganku terletak di kumis ini. Sudah inimi yang bikin banyak cewek tergila-gila,“ katanya sambil mematut-matut wajahnya di depan cermin kecil di kamar itu.

Ternyata, kumis bisa menjadi bagian paling seksi bagi seorang pria. Kumis menjadi sumber keberanian sekaligus kekuatan untuk menaklukan yang lain. Persoalan ini bisa tergantung sang pria. Ada yang memandang kumis sebagai unsur paling seksi, ada juga yang melihat rambut atau cambang, kayak Surya Paloh. Kalau tak salah, ada legenda pemuda perkasa bernama Samson yang kekuatan dan “keseksiannya“ terletak di rambut. Ketika rambut itu dipotong, ia langsung lemah dan mudah ditaklukan. Dalam versi Benyamin S, kekuatan itu pindah ke bulu keteknya. Ketika bulu ketek itu dicukur, Benyamin jadi gampang dibengkokkan. Bagaimana dengan Pak Azis? Ia menilai kumisnya yang menjadi unsur yang selalu membuatnya percaya diri. Selalu membuatnya tetap sakti di hadapan siapapun. “Kalau ada kumisku ini, siapa saja yang saya hadapi, pasti akan takluk,“ katanya dengan yakin. Masalahnya, apakah Pak Iwan dan Pak Afid akan gentar saat memandang kumis Pak Azis?

Depok, 2 Desember 2007

Pukul 13.14 WIB (seusai makan siang)

www.timurangin.blogspot.com


Jakarta, Kota yang Asing

JAKARTA kota yang asing. Sebuah rimba luas dan ribuan manusia berseliweran setiap harinya. Ribuan manusia itu bersaing demi memperebutkan sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas. Begitu banyak orang dari berbagai penjuru membanjiri kota ini dan saling "berkelahi" demi menyambung hidup. Di sini ada kompetisi yang sedemikian kejam dan saling menghabisi. Kompetisi ini melahirkan tabiat hukum sendiri yaitu hukum alam dan meremukkan mereka yang tidak punya kuasa. Jakarta bukan kota yang ramah bagi mereka yang pertama menginjakkan kaki. Selalu saja ada kekhawatiran kalau-kalau akan dirampok, dicopet, atau malah akan dibunuh. Kota ini seakan menyimpan barisan ketakutan serta kekhawatiran yang sengaja dipelihara oleh segelintir orang. Di semua sudut, selalu ada bahasa sendiri yang hanya bisa dimengerti mereka yang berdiam di situ. Kekerasan pun kerap menjelma menjadi sebuah bahasa pengabsah di satu kawasan. Ketika kekerasan menjadi parade kemewahan yang dipertontonkan, semua orang seakan diam saja. Jakarta hanya diam dan berlari. Sebab telah kehilangan nurani.

Dances With Wolves

SAYA baru saja menyaksikan sebuah film yang dibuat Kevin Costner tahun 1990 berjudul Dances With Wolves. Saya sedih dan membayangkan bagaimana nasib bangsa Indian yang dibasmi mereka yang menyebutnya dirinya modern dan berperikemanusiaan. Seolah bangsa Indian adalah bangsa barbar yang pantas dienyahkan. Saya sedih membayangkan mereka yang dilenyapkan sebab dianggap berbeda dan tidak sesuai selera Eropa.
Film ini melihat fenomena ini dengan tilikan yang sangat menyentuh sisi kemanusiaan. Kini saya paham, mengapa film itu telah menohok rasa bersalah penduduk Amerika Serikat (AS) bahwa di masa lalu, mereka pernah membumihanguskan bangsa Indian. Saya bisa merasakan betapa sedihnya menjadi bangsa Indian.