Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Naik Pesawat Berbaling-baling

2 Februari 2006

AKHIRNYA aku tiba di Ternate. Aku lelah juga menempuh perjalanan mulai dari Makassar-Manado hingga Manado-Ternate. Bersama temanku Adi, aku mengarungi udara demi mencapai Kota Ternate. Aku gabung dalam satu tim perusahaan dari Jakarta yang hendak menyusun profil daerah. Sebuah kerja yang menurutku sederhana dan tidak begitu sulit.

Jarak Makassar Manado sekitar 594 mil. Jarak itu ditempuh pesawat Lion Air –pesawat yang kutumpangi-- selama dua jam. Setelah itu, aku menumpang pesawat kecil jenis Wings Air untuk mengarungi Manado-Ternate sejauh 182 mil. Waktu tempuhnya cuma sekitar 45 menit. Cukup singkat.

Meski belakangan ini aku sering mengikuti informasi tentang jatuhnya pesawat Adam Air, aku sama sekali tak merasa takut dengan penerbangan ini. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Kalaupun ada kekhawatiran, itu hadir pada perjalanan menuju Ternate. Betapa tidak, pesawat kecil yang aku tumpangi adalah Wings Air yang hanya berkapasitas sekitar 20 orang. Pesawat itu memiliki dua baling-baling dan bentuknya seperti pesawat buatan Wright Brothers pada tahun 1909. Di lihat dari bentuknya, pesawat ini mirip dengan pesawat yang dipakai tentara AS pada Perang Dunia II.

Aku tersentak melihat pesawat itu saat tiba di Pelabuhan Sam Ratulangi, Manado. Melihatnya, aku tercekat dan membayangkan betapa beratnya melewatkan waktu di pesawat itu. Tapi tak apa. Aku suka tantangan. Apalagi, Adi memberitahu kalau pesawat berbaling-baling memiliki resiko yang lebih kecil di banding pesawat jet sebab pesawat berbaling-baling didesain dengan logam yang kokoh hingga lebih kuat.

Aku juga tercengang saat melihat Bandara Ratulangi yang bentuknya jauh lebih mewah daripada Bandara Hasanuddin, Makassar. Selama ini, aku dijejali informasi kalau Makassar memiliki infrastruktur yang terbaik di Indonesia Timur. Ternyata, Manado memiliki bandara yang lebih luas dan lebih baik ketimbang Makassar.

Bandara Sam Ratulangi terdiri atas dua lantai. Semua pesawat yang sandar akan dijemput dengan belalai Garbarata sehingga penumpang tidak perlu turun dari tangga pesawat. Interior bandara ini juga megah. Aku melihat langit-langitnya dihiasi dengan lukisan kaca yang berisikan panorama serta kekayaan alam. Awalnya, aku mengira mozaik itu berisikan kisah tentang Yesus, sebagaimana yang bisa dilihat di gereja. Ternyata, setelah kuperhatikan dengan teliti, mozaik itu berupa gambar nelayan dan ikan-ikan serta rumput laut yang merupakan bagian dari kekayaan laut Sulawesi Utara.