Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Malam Menjemukan



HARI ini aku memulai hari dengan penuh was-was. Aku melewati malam dengan penuh keprihatinan. Di Jakarta, kota yang begini asing, aku seakan bertarung dengan hidup. Bertarung untuk terus bertahan dan bisa membawa pulang sesuatu.

Dalam keadaan sunyi, aku gampang rindu dengan sesuatu. Aku rindu bapak di surga. Aku rindu ibu dan saudara-saudara di kampung. Aku juga rindu dengan Dwi. Satu sosok yang hingga kini terus menjadi penyemangat hidupku.

Aku benar-benar berjuang melawan semua rasa lapar dan kesepianku. Rumah kosku di Rawamangun menjadi sumpek dan begitu membosankan. Mataku tak henti memandangi arsitek dan atmosfer ruangan yang kian menjemukan.

Aku tak bisa tidur. Beberapa kali, aku bangun untuk membaca beberapa buku yang kubawa yaitu Manusia Bugis, Postrealitas, Kata Waktu, hingga buku karya Basuki Subianto yang berjudul Mengubah yang Tidak Mungkin Menjadi Mungkin.

Saking seringnya kubaca, buku itu mulai kuhafal isinya. Seakan-akan, aku mulai mengahafal dengan baik peta aksara yang ada di situ.

Nanti dilanjutkan

Lama Nunggu Kuliah


Aku benar-benar tidak sabar menunggu waktu perkuliahan di Universitas Indonesia (UI). Terus terang, saya merasa agak grogi menunggu masa perkuliahan. Sejak dulu, dunia mahasiswa adalah dunia yang sangat indah bagiku. Betapa dunia ini bisa menggiringku membumbung tinggi ke permai gagasan. Berkecimpung dalam lautan pemikiran kerap membuatku tersedak dengan berbagai wacana.

Mungkin betul juga kata antropog Perancis, Pierre Boerdieu. Katanya, seluruh pikiran dan tindakan kita dibingkai oleh korpus wacana yang beroperasi pada dimensi kesadaran manusia. Kita hanyalah sebuah konsep yang lahir dari apa yang kita baca, pikirkan, serta lewat interaksi sosial kita. Kita adalah bagian dari sebuah wacana.

Hanya saja, aku kadang agak bingung dengan kenyataan ini. Jika memang demikian, lantas, apakah kita manusia tak punya free will atau kesadaran dalam menentukan sesuatu? Apakah kita hanyalah sosok tabula rasa yang berupa meja lilin putih dan diwarnai pengalaman sebagaimana dituturkan Aristoteles?

Entahlah. Mungkin Pierre Boerdieu seorang pembaca Aristoteles yang baik. Makanya, segenap cara berpikirnya justru dipengaruhi oleh paham empirisme yang mengagungkan pengalaman sebagai bagian paling penting dalam perjalanan manusia.

Kembali ke masalah perkuliahan, rasanya, tanggal 4 Sept terlalu lama untuk sekedar menunggu kapan mulai kuliah. Aku sudah tak sabar menanti saat belajar di kelas, mendebat dosenku yang katanya mahluk paling angkuh secara akademis yaitu Prof Parsudi Suparlan. Aku tak sabar untuk membawa banyak buku dan dipejari di malam hari.

Entah kenapa, aku ingin mengembalikan masa perkuliahanku ini ke masa-masa ketika aku begitu gila belajar beberapa tahun yang lalu. Pembayaran biaya masuk yang mencapai Rp 8,1 juta itu tidak akan kusia-siakan begitu saja. Aku ingin mengisinya dengan sesuatu yang benar-benar bermanfaat.

Buku dasar tentang mata kuliah itu sudah lama kubaca dan kupahami. Mudah-mudahan, nanti saat kuliah, tak banyak masalah yang kelak kutemui.

Aku sering mendengar cerita begitu banyak teman-teman yang gagal mkendapatkan gelar magister. Banyak di antara mereka yang harus kena sanksi drop out dan pulang membawa kegagalan. Aku baru saja diceritakan sama temanku Oci kalau temanku Erna ternyata di-DO karena tak punya duit untuk bayar kuliah. Demikian juga dengan temanku si Antar.

Yah, itulah Universitas Indonesia (UI). Masuknya tak sulit namun untuk keluar begitu sulit. Butuh kerja keras yang tinggi untuk bisa mewujudkan semua cita-cita atau impian untuk menjadi kenyataan. Ya Allah, berilah aku jalan terang di situ

Duh....Susahnya Jakarta



ALHAMDULILLAH, kemarin aku sudah kembali menjalankan puasa Senin-Kamis. Entah kenapa, belakangan ini batinku merasa kosong. Tiba-tiba saja aku rindu dengan nuansa spiritualitas. Sesuatu yang nyaris hilang pada diri saya selama dua tahun terakhir.

Mungkin, ini dikarenakan hidupku yang sedang susah di Jakarta. Duit di kantongku tinggal Rp 50 ribu. Semalam, Dwi mentertawakanku. Katanya, saya salat karena duit di kantong kian menipis sehingga kian dekat dengan Allah. Aku hanya bisa tersenyum.

Aku memang tengah susah. Bekerja di tempat baru belum juga mendatangkan gaji buat saya. Maklumlah, saya bekerja baru sekitar dua minggu. Di sisi lain, semua tabungan dan uang yang kumiliki sudah dipakai untuk membayar biaya kuliah di Universitas Indonesia (UI).

Aku benar-benar susah. Sewaktu masih kerja di Persda Kompas, salary-ku per bulan bisa mencapai Rp 4 juta. Kini, setelah membayar semua biaya di UI, aku hanya punya uang sekitar Rp 500 ribu. Aku harus hidup dengan biaya itu selama seminggu. What can i do???

Di saat susah seperti ini, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan banyak teman. Bayangkan, betapa susahnya aku ketika datang ke Talang, tempat teman-teman Makassar di Jakarta, ternyata tak satupun yang bisa membantu. Padahal, aku cuma butuh sesuap nasi.

Aku benar-benar susah. Bahkan untuk makanpun aku tak sanggup. Aku hanya bisa berbaring saja di kosku di Rawamangun sambil memnunggu datang keajaiban. Bahkan untuk makan, aku embat saja krupuk yang sempat dikasih Enre ke aku beberapa minggu yang lalu. Kerupuk yang rasanya sudah tawar itu, aku makan saja demi mengganjal perutku.

Di saat yang susah itu, aku baca buku tentang bagaimana menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas kita. AKu jadi terinspirasi. Dalam keadaan susah, saya belajar untuk tetap berdoa dan berharap ada keajaiban dari Allah.

Tiba-tiba saja, Dwi kirim sms dan siap membantu kirim duit. Aku tersentak. Tak kusangka jika dalam kondisi kos-kosan dan pas-pasan ia masih bisa membantuku. Katanya, ada bea siswa sebesar Rp 750 ribu yang dia terima dari Ka Lily, mantan wartawan Kompas yang kini kerja di Private Editor di Jepang.

Saya sama sekali tidak menyangka kalau di saat yang susah seperti ini ada saja bantuan yang datang. Dan Dwi menjelma jadi dewa penolong bagi saya.

Kembali ke soal religiusitas, kemarin, anak buahku yaitu Iwa juga mentertawakan hal yang sama. Ia mengolok-olok sikapku yang tiba-tiba sangat religius dan selalu menyebut Allah. Anehnya, saat mau buka puasa, Iwa langsung menawarkan akan mentraktir menu buka puasa. Katanya, siapa tahu dia mendapatkan pahala yang sama dengan saya.

Rupanya, ia terpengaruh dengan pendapat ustad kalau memberi sajian buka puasa akan mendatangkan pahala yang sama dengan yang berpuasa.