Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Inikah Zeitgeist?

Hari ini, aku pulang mengikuti diskusi tentang pilkada di Waroeng Kopi Phoenam. Rasanya, duduk bersama dengan kawan-kawan sembari menyeruput beberapa gelas kopi susu adalah kebahagiaan yang tak terkira. Apalagi jika ditambah ngobrol sembari memandang gadis-gadis semampai yang membawa nampan dengan sulas senyuman.

Diskusinya berjalan tidak menarik. Massa yang hadir begitu banyak dan ikut teriak-teriak di tengah diskusi itu. Aku selalu merasa jenuh bila melihat ada teriakan emosional di tengah diskusi. Seakan-akan dengan berteriak, maka semua perhatian akan tersedot ke situ.

Aku menyaksikan semuanya dengan miris. Aku mulai jenuh menyaksikan berbagai fragme pilkada dan segala dinamikanya. Agak sukar menemukan kedewasaan, keberanian, serta jiwa besar di tengah dunia seperti ini. Selalu saja ada ketidakpuasan di tengah proses politik. Celakanya adalah kata "rakyat" selalu diteriakkan seakan-akan ada legitimasi yang dilekatkan di tengah upacara kebesaran.

Kericuhan, pemasalahan, serta kekecewaan adalah fragmen yang selalu nampak dalam setiap proses politik. Hipotesis Plato tentang demokrasi mulai menunjukkan sosoknya. Tatkala demokrasi tak bisa dikelola secara maksimal, yang hadir adalah pemerintahan yang penuh dengan gejolak. Rakyat akan selalu diliputi api yang menyala-nyala dan sibuk berebut posisi dan jabatan.

Sebagai sebuah bangunan berpikir, demokrasi menggiring negeri ini pada sebuah kondisi yang chaotik. Selalu ada pertikaian atas nama rakyat yang bersemayam di balik hasrat untuk kuasa (will to power).

Barangkali Hegel benar ketika menyebut tentang zeitgeist atau ruh zaman. Bahwa ada sebuah spirit serta semangat yang selalu mendasari dan menjadi ciri dari setiap zaman.

Sayangnya, zaman ini melahirkan zeitgeist yang benar-benar jauh dari pencapaian manusia di jalur kemanusiaan. Hari ini aku menangisi demokrasi. Satu proses yang tak diiringi kedewasaan dan keberanian untuk mengaku kalah. Sayup-sayup, aku mendengar nada lirih Bob Marley,"Emancipate yourself from mental slavely,...."


Sebaris Kesan

Aku tak banyak tahu tentang website. Aku cuma menggoreskan sebaris kesanku tentang banyak hal di sini. Jika kehidupan adalah meniti memori secara hati-hati melalui berbagai proses, maka kesan da pengalaman hanyalah jejak yang bertutur akan kita.

Pada akhirnya, kita hanyalah sebuah konsep dan kategoori yang mencoba untuk merepresentasikan sesuatu. Yah, semoga catatan di sini bisa mengasah rasa dan empati kemanusiaan pada diriku